Sunday, March 23, 2014

Masa Depan Bahan Bakar Fosil

Beberapa tahun yang lalu teknologi pengumpulan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage – CCS) menjadi salah satu harapan baru dari industri pengumpulan bahan bakar fosil. Tujuannya secara sederhana dapat dipahami dari nama teknologi ini, yaitu mengumpulkan karbon yang dilepaskan oleh pabrik-pabrik penghasil polusi dan menyimpannya di dalam bebatuan di bawah tanah. Meski menjadi pusat perbincangan pada konferensi perubahan iklim di Kopenhagen pada tahun 2009, kepopuleran CCS telah menurun selama  beberapa tahun. Hal ini diakibatkan oleh kesibukan dunia untuk mencari energi yang dapat diperbarui sebagai pengganti bahan bakar fosil. Apalagi belakangan dunia juga terobsesi dengan jenis baru dari bahan bakar fosil yang lebih sulit diekstrak seperti, bitumen dan gas alam dari proses rekah hidrolik (fracking). Namun, sepertinya CCS akan kembali diperbincangkan. Sebuah laporan di The Guardian baru-baru ini menyatakan bahwa industri CCS di Inggris saja diperkirakan bernilai sekitar 35 milyar poundsterling pada tahun 2030. Bayangkan nilainya di negara seperti Amerika Serikat, China, dan negara-negara lain dengan tingkat emisi yang terus berkembang seperti Jerman, Jepang, Kanada, dan Australia.

Awalnya, CCS memang terlihat seperti ide yang bagus. Penalarannya, jika teknologi untuk mengumpulkan dan menyimpan emisi di tempat yang aman dan jauh dari atmosfer bumi yang telah rusak karena emisi karbon memang ada, mengapa tidak? Apalagi dunia tidak mungkin serta merta beralih dari perekonomian yang bergantung pada bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, karena itulah untuk sementara waktu kita harus melakukan sesuatu, bukan? Sayangnya, ada beberapa masalah dengan solusi ini, baik dari sisi praktis maupun teoritis. Pertama dari sisi praktis. CCS sebenarnya hanya mengubur emisi sehingga tidak tampak,  namun sesungguhnya tidak menghilangkan emisi tersebut. Jika ada bencana alam seperti gempa bumi atau penggalian dilakukan di lokasi, hal ini bisa mengakibatkan emisi yang telah dikubur tadi secara tidak sengaja terlepas lagi ke atmosfer dan manfaat awal yang dihasilkan CCS menjadi sia-sia.

Namun sesungguhnya problem terbesarnya adalah secara teoritis. CCS memberi kita pola pikir yang salah dalam menangani masalah di abad yang akan datang. CCS tidak akan menjadi solusi sementara saat dunia berupaya beralih dari perekonomian yang bergantung pada bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Sebaliknya CCS seolah menjadi batu loncatan untuk menutupi keengganan sistem yang ada untuk beralih ke energi terbarukan. Saat emisi karbon terkubur di bawah tanah, para politisi akan mengaku telah menyelesaikan masalah dan tak lagi berupaya untuk menemukan teknologi baru yang lebih efisien dan terbarukan. Suatu kondisi yang amat menguntungkan bagi sumber dana para politikus yang merupakan pemain di industri bahan bakar fosil.

Industri bahan bakar fosil akan terus diistimewakan sementara isu-isu menyangkut pengumpulan bahan bakar akan diabaikan. Misalnya, kerusakan yang terjadi karena proses rekah hidrolik (fracking); dampak pengembangan bitumen di lokasi penduduk asli Kanada (Canadian First Nations); masalah yang masih akan muncul berkenaan dengan teori peak oil; perang yang berkelanjutan di Timur Tengah untuk menguasai sumber minyak. Semua ini mungkin bisa diabaikan jika CCS dapat membuat minyak, gas, dan batu bara terlihat sebagai ‘energi hijau’. Ini sungguh memalukan. Bahan bakar fosil adalah zat yang paling menghancurkan yang ada di bumi dewasa ini. Maka amatlah penting agar teknologi yang memungkinkan efisiensi serta alternatif yang di kembangkan di NRGLab tidak diabaikan hanya karena status quo ekonomi saat ini yang ingin terus dipertahankan.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 16.02.14: http://anashell.blogspot.com/2014/02/capturing-future-for-fossil-fuels.html

[ bakar fosil, carbon capture and storage, CCS, energi yang dapat diperbarui, NRGlab, teknologi pengumpulan dan penyimpanan karbon, the guardian ]

No comments:

Post a Comment