Sunday, July 20, 2014

能源独立不只是乌克兰的问题,它和我们每个人息息相关

从最近几日乌克兰的新闻来看,这个国家的情况似乎变得越来越糟。叛军从空中袭击了军用飞机,该国东半部仍在努力分裂出去(尽管俄国在口头上已不再那么支持了),在这一点上,克里米亚地区似乎彻底失去了普京。现在,最糟糕的是,俄能源公司Gazprom俄罗斯天然气工业股份公司停止向乌克兰供应天然气,声称该国尚未付清欠款。这件事并未发生在隆冬季节,恐怕是其唯一且含糊的积极面了吧。


当然,Gazprom俄罗斯天然气工业股份公司做出这个决定更多的是出于政治上的考虑,而不是经济的原因。乌克兰最近投票选出了新总统,俄国却基本上将这次选举视为无效,因为乌克兰没有承认近日发生的革命,期间亚努科维奇(Yanukovych)被驱逐出境。同时,俄国也希望在国际舞台上展示自己的新力量,向世界表明自己又一次成为了不好惹的大国。归根结底,如果一个国家因为未能及时付清债务而被切断了能源供给,那么,无论在哪儿他们也不能马上获得能源。

这只是问题的一方面。正如我们在之前的博文中讨论过的那样,全球能源系统已经出现了问题。目前,化石燃料变得越来越稀缺,也越来越集中在全球少数国家的掌控之中,而当前能源系统的基础却正是对化石燃料的普遍使用。一旦这些燃料枯竭,各国就会突然发现自己面临着一大堆的麻烦,很多时候甚至不能为本国的人民提供最基本的服务。

正是因为这样的能源系统,让俄国能对乌克兰施压。也是因为这样的能源系统,让美国决定出兵伊拉克,企图按照自己的想法改变盛产石油的中东地区,去控制足够多的石油供给,以达到长期维持本国非可持续性经济的运行。正是因为这样的能源系统,让OPEC(石油输出国组织)得以决定世界各地普通消费者所承担的能源价格。同时,也正是因为这样的能源系统,让我们走进不那么传统的地方,持续不断地钻取更多的化石燃料——北极冰下,在焦油砂中,在阿拉斯加,等等。

在满足自己的能源需求上,几乎每个国家都过于依赖石油和天然气,这让他们变得太过依赖一个或两个主要供应商。以下事实就充分地说明了这一点:Gazprom俄罗斯天然气工业股份公司停止为乌克兰供应能源一事,也引起了欧盟的担心,他们害怕即使是自己这样的超级大国集团,今年也可能难以获得足够的燃料,除非俄国能及时重新供应能源。自给自足和可持续发展本应是每个国家奋力实现的目标,而我们却宁愿依赖肮脏的燃料。

现有系统让许多人赚得盆满钵满;因其受害最深的却是已经一贫如洗的人。他们在加油站支付昂贵的费用,花大价钱在西部的房屋中取暖。而生活在发展中国家的人民,更是因较早受到气候变化的影响而苦苦挣扎,气候的变化毒害了他们的庄稼,淹没了他们的村庄,摧毁了他们的生计。

乌克兰事件彰显了让各国在更大程度上实现能源自给自足的需要,以及专注发展替代能源技术的需要。与其依赖俄国供应天然气,乌克兰——以及其他国家——更应专注于在世界各地更易获得、更清洁、更环保的可再生能源技术。为了在未来几十年建立新的全球能源系统,国际社会应将其视为优先事项。



[ 公司Gazprom, 向乌克兰供应天然气, 经济的原因, Yanukovych, 能源供给, 全球能源系统, Ana Shell ]

Tuesday, July 15, 2014

Dana Bantuan Ditujukan untuk Orang Miskin atau Orang Kaya?

Kabar baik! Dana bantuan asing Inggris akhirnya mencapai 0.7% mark! Seperti yang sudah pasti Anda ketahui, selama ini sudah ada target jangka panjang yang dipicu oleh Program Pengembangan PBB yang mendorong negara kaya untuk memberikan 0,7% dari PDB sebagai dana bantuan asing untuk membantu negara yang lebih miskin mengatasi kerugian mereka dan meningkatkan taraf hidup masyarakat mereka. Sampai saat ini, hanya negara-negara Skandinavia dan beberapa negara lain telah mengelola untuk memberikan jumlah yang cukup kecil ini, namun sekarang Inggris telah bergabung dan mempertahankan posisi teratasnya di masyarakat internasional (meskipun tidak seperti di dalam negaranya, di mana kesuksesan ini hampir tidak pernah digembar-gemborkan karena takut akan mengganggu para xenophobia yang meyakini kalau tidak boleh memberikan uang untuk menolong orang-orang yang berada di luar negara mereka.


Sayangnya, sebelum kita mulai merayakan hal ini secara luas, terdapat masalah – dan ini adalah masalah yang cukup besar, yaitu kemana jumlah uang yang banyak ini akan disalurkan. Kita selalu berpikir kalau dana bantuan ini langsung disalurkan untuk kampanye vaksinasi, pembangunan sekolah, penyediaan peralatan medis darurat, dan lain-lain. Pada kenyataannya, banyak dana yang langsung mengalir ke pembangunan dan proyek swasta yang bertujuan untuk memperoleh laba (untuk kapitalis lokal dan di banyak kasus perusahaan Inggris sendiri) dan bukan untuk memperoleh keuntungan sosial.

Banyak uang tersebut dipercayakan kepada perusahaan keuangan, yang kemudian akan menentukan ke mana uang tersebut akan diinvestasikan demi kebaikan semua orang. Hal ini menjadi bagian dari ideologi mereka bahwa pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan hal tersebut secara kompeten, dan oleh karena itu, kita harus bergantung pada sektor swasta untuk memenuhi kepentingan terbaik kita. Tentu saja, hal ini sepenuhnya mengabaikan sektor swasta yang selalu tidak pernah puas untuk mengendalikan lebih banyak uang, dan akibatnya banyak dari dana bantuan pada akhirnya digunakan untuk hal yang sudah jelas menguntungkan – pembangunan apartemen swasta, hotel, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Gagasannya adalah dengan membuat bisnis lokal tertentu menjadi kaya atas keuntungan dari investasi ini, uang ini pada akhirnya akan “menetes” pada masyarakat umum. Bahwa hal yang tidak berjalan dengan benar di manapun di dunia ini menjadi tidak diperhatikan; gagasan mengenai memberikan uang dengan mudahnya secara langsung kepada masyarakat miskin yang membutuhkan itu tidak menghibur.

Skema kontroversial lainnya mencakup sektor agrikultur. Di beberapa negara Afrika, dana bantuan agrikultur hanya akan diberikan jika pemerintah menyetujui persyaratan yang ketat – khususnya, tidak membatasi ekspor dalam keadaan apapun. Hal ini berarti jika kelaparan kembali melanda Afrika Timur, ekspor makanan untuk pasar asing akan tetap menjadi prioritas utama di atas memenuhi bahan pangan untuk masyarakat lokal. Hasil bumi untuk perdagangan seperti kopi dan coklat lebih banyak menerima dana bantuan, meskipun hasil tersebut paling banyak tidak digunakan oleh penduduk lokal; demikian pula transportasi dan infrasturktur penghubung ke pelabuhan, membiarkan hasil bumi ini masuk ke pasar dunia dengan cepat dan efisien. Skema ini menguntungkan negara yang memberikan dana bantuan yang sama besarnya seperti negara yang menerima dana ini, namun banyak pemerintah negara yang lebih miskin merasa mereka tidak memiliki pilihan lain selain menerima persyaratan ini untuk mendapat uang yang dapat digunakan oleh masyarakat mereka.

Pada dasarnya, skema ini menunjukkan bahwa kita sudah lama tahu – kalau dana bantuan ini sering menjadi cara untuk mengambil sumber daya dari negara miskin dan untuk menopang ketidakseimbangan struktur dalam ekonomi global yang membuat negara ini berada dalam kemiskinan, bukan berarti dengan tulus membantu kemalangan dunia ini. Hal ini membuat pemerintah terlihat baik (setidaknya untuk beberapa orang), karena tidak melibatkan mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak populer dan merugikan bagi kebutuhan dan minat perusahaan di negara mereka. Akibatnya, sampai kita merancang kebijakan dana bantuan yang lebih adil dan baru yang sebenarnya bertujuan untuk menolong masyarakat miskin dan bukan untuk tujuan bisnis, ini mungkin bukan hal yang harus dirayakan secara berlebihan mengenai pada akhirnya telah berhasil mencapai target 0,7% yang kecil.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 11.06.2014: http://anashell.blogspot.com/2014/06/aid-for-poor-or-for-rich.html

[ dana bantuan asing Inggris, Program Pengembangan PBB, PDB, masyarakat internasional, kampanye vaksinasi, pembangunan sekolah, penyediaan peralatan medis darurat, Ana Shell ]

Sunday, July 13, 2014

A future of drought, unless we invest now

California is currently suffering from a drought as severe as any we could imagine happening in such a developed country as the USA. Eighty percent of the entire state is estimated to be in ‘extreme’ drought conditions, with 36% in ‘exceptional’ drought, an even worse condition. Meanwhile, the hot and dry conditions have begun to cause wildfires – with one in the Napa Valley region currently requiring 1,000 firefighters to control it, and forcing the evacuation of 500 people from their homes. This isn’t a sudden development either – the entire state has been considered to be in severe drought since April.
At times like this, the glamor of California slips away and the state begins to look increasingly unsustainable. Many people have long claimed that California’s enormous debt makes it economically unsustainable, but the natural physics of the area itself can be just as much of an impediment. There is a lot of seawater, but a relatively small amount of freshwater for such a large population; and as we are finding out now, the often-gorgeous weather can very quickly become brutal.
California is not the only place that will suffer in the coming years as climate change intensifies. The logic of settling much of the western part of America is now starting to look rather silly. Inland states like Arizona and Nevada are eventually going to run out of clean, fresh water to sustain their populations. They were already deserts when we built cities there, and they aren’t getting any closer to the necessary water sources – Las Vegas has recently suggested building a $15.5bn pipeline just to transport water from one of the few available aquifers in Nevada.
But we’re in this situation now, and we can’t really get out of it easily – the logic of trying to relocate millions of people from these drought-ridden states to more climatically friendly ones just doesn’t work on any level. The west must stay populated, and something else must be done to stem the crisis. What we can hope is that the increasing prevalence of these crises can have a positive stimulatory effect on the research and development of new technologies. In the next decade or two, we could well discover new, highly efficient techniques for water desalination and develop new models for water sharing and conservation, as well as seeing populations increasingly comfortable with the idea of restricting their own personal consumption. But all of this will only happen if the government commits to making it happen.
If the US government is bold enough to commit to such a program of technological development and behaviour change, there could be further knock-on effects. Such technology could and should be shared with people in other parts of the world where it could be of immense value – such as the Sahara and the Sahel, extremely dry places that could massively benefit from increased fresh water resources. In that way, the US could, over time, turn a crisis into an opportunity for improving lives around the world.
[ behaviour change, California's enormous debt, climate change intensifies, climatically friendly states, developed country, drought f-ridden states, drought in California, dry conditions, economically unsustainable, evacuation of people, exceptional drought, extreme drought conditions, fresh water resources, highly efficient techniques, immense value, improving lives around the world, knock-on effects, large population, Napa Valley region, natural physics, new technologies, personal consumption, run out of fresh water, sustain populations, technological development, US government, water conservation, water desalination, water sharing, water sources ]

Thursday, July 10, 2014

Masyarakat dan Nilai Moral

Akhir-akhir ini kita sering mendengar keluhan dari generasi tua bahwa zaman modern ini tidak bermoral dan kejam. Generasi muda tidak percaya kepada Tuhan dan hidup penuh dosa, sementara generasi sebelumnya memegang teguh moral, memuja Tuhan, dan karena itulah kehidupan mereka tidak ada masalah. Ide untuk kembali ke “masa yang lebih baik dan zaman dahulu” bukannya ide baru, dan sudah sering kita dengar; setelah runtuhnya Uni Soviet, ide ini dikenal sebagai “konservatisme.”


Masyarakat modern mengkhawatirkan nilai-nilai kegagalan dan konsekuensi dari kegagalan tersebut, seperti homoseksualitas, misalnya. Namun, ide ini sama sekali tidak baru. Nilai-nilai kuno berhadapan dengan tren-tren kontemporer yang keji adalah kiasan umum tapi palsu. Gagasan yang menghubungkan antara nilai-nilai lebih tinggi dan nilai moral dengan masyarakat tradisional itu sendiri adalah ide modern yang tidak ada kaitannya dengan norma-norma masyarakat tradisional.

Bahkan pada era Mesir kuno pun orang telah membicarakan tentang degradasi moral; namun, pada zaman itu sekalipun masyarakat tradisional mempunyai system moral yang sangat selektif. Meskipun sudah ada prinsip-prinsip moral yang keras dan hukuman diberlakukan untuk kesalahan kecil, namun tetap ada pengecualian dalam beberapa hal. Misalnya, membunuh itu bukan hal yang tabu ketika terjadi perang dan konflik sipil. Membunuh itu normal, merampok kota yang direbut, memperkosa perempuan, dan membunuh penduduk sipil yang ditaklukkan. Tidak ada prajurit yang pernah merasakan dilema moral karena melakukan hal-hal ini, atau setidaknya tidak ada yang melakukan hal-hal yang kita kenal. Masyarakat dan agama juga tidak menganggap masalah moral dalam hal-hal seperti itu.

Selektivitas moral tersebut juga terjadi dalam urusan seks di luar nikah. Masyarakat tradisional melarang seks di luar perkawinan dan mengutuk aborsi. Masalah seks sama tabunya dengan merampok atau membunuh dalam masyarakat tradisional “yang sopan”. Namun, di luar semua ketabuan dan pembatasan itu, prostitusi sudah ada sepanjang masa dalam kehidupan masyarakat tradisional. Terlepas dari semua perang agama sepanjang sejarah, profesi kuno ini masih ada hingga sekarang. Hanya emansipasi perempuan akhir-akhir ini saja telah berdampak negatif terhadap profesi ini. Hanya modernisasi masyarakat, evolusi alami (atau penurunan nilai moral, seperti klaim generasi yang lebih tua) telah berhasil dalam menurunkan tingkat prostitusi.

Kenyataannya adalah akar dari prostitusi berasal dari masyarakat tradisional, karena perempuan tidak mempunyai hak di luar perkawinan. Seorang perempuan dihubungkan dengan dunia luar melalui suaminya. Di luar perkawinan, seorang perempuan itu dianggap orang buangan; perempuan tidak mempunyai hak-hak sipil atau peluang mempunyai penghasilan sendiri. Mayoritas pekerjaan dilakukan oleh kaum laki-laki, dan tenaga kerja perempuan tidak ada harganya. Naluri liar rasa laparlah yang mendorong perempuan terjun ke dunia prostitusi; semua masalah moral dan khotbah-khotbah agama dikalahkan oleh wajah kelaparan. Contohnya, seorang janda hanya mempunyai dua pilihan untuk bertahan hidup: rumah bordil atau biara, tetapi biara selalu terisi penuh.

Karena banyaknya perempuan malang dan sangat terbatasnya hak-hak mereka, telah menciptakan harga yang sangat murah untuk jasa mereka di rumah bordil. Prostitusi menyebar luas dan karena keuntungan hanya bisa diperoleh dari banyaknya pelanggan yang dilayani, bukan dari harga jasa yang mereka berikan, hampir semua perempuan hanya dapat bertahan tidak lebih dari dua tahun di pasar ini, karena mereka tidak mampu bertahan dengan perputaran yang luar biasa dalam dunia ini. Sudah barang tentu, alcohol dan STD (penyakit seksual menular) adalah efek samping yang tidak dapat dihindari bagi para pelacur dan pelanggan mereka ini.

Selain prostitusi “resmi” dan “mainstream”, masih ada juga praktik-praktik prostitusi tidak resmi. Para pelayan rumah tangga, selain mengerjakan pekerjaan rutin mereka, juga menyediakan jasa tambahan lain. Motif utama bagi mereka tentu saja bukan cinta, kesenangan, atau perasaan lain, tetapi hanya demi tambahan uang atau hadiah semata-mata, karena upah pelayan sangat murah. Seringkali para perempuan pelayan ini memberikan jasa mereka secara cuma-cuma demi menyenangkan hati tuan mereka atau mempertahankan pekerjaan mereka di tengah ketatnya persaingan dalam industri ini.Dengan kata lain, “standar moral yang tinggi” seperti itu mempunyai konsekuensi serius. sifilis dan penyakit menular seksual lainnya ada di antara masalah-masalah serius di Eropa. Tidak ada obat yang manjur untuk melawan penyakit ini, dan bahkan penemuan kondom sekalipun tidak membantu. Hanya rentang kehidupan pendek manusia yang dapat mencegah orang banyak dari manifestasi fisik terkena STD.

Kesenjangan pendapatan antara kelas bawah dan atas memungkinkan pria kaya untuk memiliki banyak wanita sesuka hati. Dan semua ini terjadi dengan latar belakang moralitas tinggi dan iman terhadap Sang Pencipta.


Prostitusi dibangun di atas platform ekonomi dan masyarakat patriakal. Karena motif ekonomilah yang memaksa perempuan untuk turun ke jalan menjajakan diri dan ke rumah bordil. Baru setelah era emansipasi, ketika perempuan mempunyai kesempatan untuk bekerja dan mendapatkan upah minimum, kesempatan yang sama untuk terhindar dari mati kelarapan, dan sejak itulah jumlah perempuan yang melacurkan diri mulai menurun. Harga jasa pelacuran di rumah bordil naik dan jumlah klien merosot drastis. Industri rumah bordil menurun drastis, dan pada tahun 1950an banyak negara melarang berdirinya rumah bordil, sesuatu yang tidak mungkin terjadi sebelumnya. Namun, yang lebih menarik adalah revolusi seksual terjadi tepat setelah emansipasi: perempuan menjadi warga masyarakat yang setara, mendapatkan hak-hak mereka, dan tenaga kerja perempuan pun harganya meningkat.

Hubungan seksual antar gender berbeda pun berkembang, dari sekadar sebuah “jasa” sederhana menjadi “hubungan pribadi.” Perubahan besar dalam psikologi sosial ini setara dengan menghapus perbudakan atau status kelas yang lebih rendah.

Ide “seks bebas” membuat gagasan “seks berbayar” terlihat ganjil dan menyimpang. Tempat “istri sebagai partner ekonomi” terlihat sebagai “istri sebagai kekasih”.

Menggunakan jasa prostitusi menjadi sangat tidak populer di masyarakat, dan membayar demi kepuasan seks dipadang sebagai budaya marginal.Revolusi seksual tak bermoral dengan ide seks bebas menggantikan moralitas tradisional dengan rumah bordil dan pelayan seks. Terlihat jelas bahwa revolusi seksual belum mampu menyelesaikan semua permasalahan gender, gagasan ideal dari masyarakat tradisional mulai kembali ke wacana budaya. Kelompok-kelompok antifeminis dan konservatif sosial memberikan ide revolusioner untuk kembali ke masyarakat tradisional demi aspirasi politik, meskipun tidak mungkin untuk benar-benar bisa kembali ke konsep ini, mengingat status ekonomi perempuan dalam masyarakat saat ini.

Generasi baru, yang telah mengalami revolusi seksual, tidak harus menghadapi masalah serius dari masyarakat tradisional yang dialami nenek moyang mereka. Untuk generasi yang lebih muda, masa lalu dilihat melalui pesta dansa yang megah dan agung, kisah cinta yang romantis. Banyak literatur klasik dari masa itu telah salah dimengerti dan salah tafsir oleh khalayak sekarang. Industri perfilman telah memperdalam kesalahpahaman tentang masyarakat tradisional ini. Hampir semua sutradara film sendiri ada “produk sampingan” dari budaya seks bebas yang kemudian terus merusak masyarakat tradisional melalui karya-karya mereka. Itulah sebabnya kita terus mempercayai mitos yang mengatakan bahwa masa lalu selalu lebih baik dari masa kini, dan masyarakat zaman dahulu lebih bermoral dan bermartabat daripada masyakarat modern. Seorang penulis klasik Rusia, Chekhove mengatakan, “Masa lalu sepertinya indah, karena kita tidak lagi berada di sana”.


[ generasi tua, zaman modern, masyarakat modern, psikologi sosial, masyarakat tradisional, degradasi moral, Ana Shell ]

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris: http://anashell.com/anashell/2014/04/18/morals-society/


Tuesday, July 8, 2014

Ketergantungan Energi Merupakan Masalah Bagi Kita Semua, Bukan Cuma Bagi Ukraina

Kabar dari Ukraina akhir-akhir ini terdengar semakin memburuk bagi negara tersebut. Pesawat militer di angkasa ditembaki oleh para pemberontak, separuh dari bagian timur negara ini masih terus mencoba untuk memisahkan diri (kendati Rusia tidak lagi mendukung secara vokal), dan juga wilayah Krimea sudah tidak bisa lagi terpisahkan dari Putin saat ini. Sekarang, di atas semua ini, perusahaan energi Rusia, Gazprom telah menutup penyedia gas Ukraina, yang mengklaim bahwa Ukraina belum membayar hutang. Poin positif yang masih samar-samar mengenai hal ini adalah tidak terjadi di tengah-tengah musim dingin.


Sekarang tentu saja keputusan Gazprom lebih mengarah ke politik dan bukan ke arah finansial. Sekarang sudah dipilih Presiden Ukraina yang baru, pemilihan yang pada dasarnya dianggap batal oleh Rusia karena tidak menerima revolusi terbaru dengan menendang Yanukovych keluar dari negara tersebut. Dan Rusia berkeinginan untuk tetap melenturkan otot yang baru ditemukan ini di panggung internasional, menunjukkan kepada dunia bahwa Rusia kembali kuat dan tidak boleh dianggap remeh. Bagaimanapun juga, jika negara ini ditutup karena tidak segera membayar hutang, maka sekarang hampir tidak ada negara di dunia ini yang memiliki energi.

Dan itulah masalahnya. Sebagaimana yang telah kita diskusikan di blog sebelumnya, sistem energi global kita tidak lagi bekerja dengan baik. Hal ini berdasarkan penggunaan luas bahan bakar fosil dengan kelangkaan yang semakin meningkat dan secara meningkat pula hanya dikontrol oleh beberapa negara di dunia. Jika akses untuk bahan bakar tersebut menipis, negara ini akan berada dalam masalah besar, bahkan akan seringkali untuk tidak bisa menyediakaan pelayanan dasar untuk rakyat mereka.

Sistem energi ini yang membuat Rusia mengolok-olok Ukraina saat ini. Ini juga sistem energi yang mendorong keputusan AS untuk menginvasi Irak, dalam percobaan untuk menyusun kembali wilayah Timur Tengah yang kaya minyak ke dalam gambaran mereka, dan untuk memperoleh kontrol atas persediaan bahan bakar yang cukup untuk menjalankan perekonomian berkelanjutan dalam jangka panjang. Sistem energi ini yang membiarkan kartel OPEC untuk mengontrol harga bagi konsumen biasa di seluruh dunia. Dan sistem energi yang menyebabkan kita terus-menerus menggali lebih banyak bahan bakar di tempat-tempat konvensional yang semakin berkurang – di bawah Arktika, di pasir minyak di Alaska, dan lain-lain.

Hampir di semua negara di dunia sangat bergantung pada minyak dan gas untuk kebutuhan energi mereka, dan hal ini membuat mereka semakin ketergantungan pada satu atau dua penyedia utama. Fakta ini semakin jelas digambarkan berdasarkan pada kenyataan bahwa Gazprom menutup penyedia energi Ukraina yang telah membuat khawatir EU, yang sangat memperhatikan bahwa blok adidaya mereka tidak memiliki akses ke bahan bakar yang cukup di tahun ini kecuali arus dari Rusia kembali aktif sesegera mungkin. Alih-alih kemandirian dan keberlanjutan yang menjadi tujuan yang harus diperjuangkan oleh semua negara, kita malah memiliki ketergantungan pada bahan bakar kotor.

Banyak orang menghasilkan banyak uang dari sistem ini; orang yang paling menderita adalah orang yang pada dasarnya miskin. Mereka membayar harga tinggi di pom bensin atau untuk menghangatkan rumah mereka di barat. Dan di negara berkembang mereka menderita dari dampak awal perubahan iklim, tanaman mereka musnah, desa-desa banjir, dan mata pencaharian mereka hancur.

Peristiwa di Ukrainia menunjukkan bahwa dibutuhkan kemandirian yang besar dalam sumber daya energi untuk semua negara, dan harus fokus pada teknologi energi alternatif. Daripada bergantung dengan gas Rusia, Ukraina – dan kita semua – harus fokus pada teknologi yang dapat diperbarui, ramah lingkungan, dan lebih bersih yang akan lebih mudah diakses ke seluruh dunia. Perancangan sistem energi dunia baru selama beberapa dekade mendatang harus menjadi prioritas utama bagi seluruh masyarakat internasional.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 23.06.2014: http://anashell.blogspot.com/2014/06/energy-dependency-is-problem-for-us-all.html

[ perusahaan energi Rusia, penyedia gas Ukraina, Presiden Ukraina, Yanukovych, sistem energi global, bakar fosil, Ana Shell ]

Sunday, July 6, 2014

是时候改变我们的石油文化了

美国最新公布的数据表明,页岩气引起的欢欣鼓舞似乎为时过早。曾经,页岩被认为是实现美国能源独立的答案,并声称仅加州一地,就有多达170亿桶燃油——足够在很长一段时间内,保持业务正常运作,同时,这也足以完全摧毁我们可能拥有的避免灾难性气候变化的任何机会。此外,人们也有小小的担心,因为提取页岩气需要使用令人难以置信的破坏性技术——水力压裂法,这将对土地和供水造成破坏。


不过,最新数据表明,之前的预测可能会缩减——96%。是的,与石油产业管理人员和否认气候变化的人之前的想象相比,加州页岩气的实际储量可能只是其中微不足道的部分。从焦油沙、北极的石油,到加州页岩气储量,都说明了新发现的化石燃料,往往会催生出乐观主义。每一次,当人们信誓旦旦地说已经找到了解决峰值石油问题的方法,但最终却表明我们只是发现了一种以进一步破坏环境为代价,让这个问题延后数年的方法。

当然,即便是在重新评估页岩气储量之前,液压也绝不是个好主意。著名影片《天然气之地Gasland》就向我们展示了压裂页岩引起的水污染是多么严重,您甚至可以点燃它。此外,液压也被认为应为英国西北部布莱克浦(Blackpool周边发生的地震负责。正如我们之前在博客中讨论过的那样,英国目前正举行反对使用这项破坏性技术的活动,且参加的人数越来越多,规模越来越大。您可能会认为考虑到这些污染事实,以及可供提取的页岩气实际上也没有那么多的新发现,液压作业将停止——但是,几乎可以肯定的是,无论如何,水力压裂页岩气的作业都会继续,因为我们的文化似乎让我们更倾向于选择化石燃料,而不是更清洁的替代能源。

着手解决这一文化问题,是我们的当务之急。当出现可用的化石燃料时,为什么我们会立即屈服?在我们赖以生存的风、阳光和流水之中,在我们身边,存在着无限的能源,要接受这一点如何如此困难?可能有人认为替代科技不够男子气概——当然,这是一个极其荒谬的主张,但是,对制定决策的人来说,却似乎有一股奇怪的力量。又或者说,这涉及到了石油和天然气产业根深蒂固的利益,他们不希望我们向新一代科技前进——即使这是人类在其历史中所做之事。

不管其中的原因是什么,针对页岩气得出的新数据应变成对我们文化的猛然一击,让我们认识到我们需要逐渐远离石油。最终,我们需要明白——发自内心地理解——地球已没有足够的石油和天然气让我们一直维持现有的生活方式。这意味着我们需要改变我们目前专注于消费和舒适的生活方式,而这几乎是不可能发生的,或者,开始真真正正地开发替代能源,而不是在页岩气和其他破坏性计划上浪费时间和资金。这意味着各国需要携手合作,说服人民化石燃料并不特别,这也意味着制定明智的政策。但是,这是可以实现的——实际上,如果其他选择就是储藏在美国少量岩石中的微量页岩,那么,我们就必须完成这个目标。



[ 页岩气, 美国能源独立, 气候变化, 水力压裂法, 天然气之地, Gasland, 开发替代能源, Ana Shell ]

Tuesday, July 1, 2014

Ignoring the past for our own convenience

We spend so much time focusing on the problems of the present day that it can be very easy for us to ignore the past, and to ignore the historical actions and events that have led us to the situation of inequality and injustice that we face today. But as the famous saying goes, ‘those who forget the past are destined to repeat it’, and there are many powerful people out there who would prefer we not explore what our ancestors did in order to maintain the current social structure that favors them.
The crimes of the past are an issue all around the world, but in the ‘old world’ of Europe and Asia things are still a little closer to the surface and more easily visible – think about the ongoing tensions between the Turks and the Armenians stemming from the genocide of 1915, or the various complicated mixings of ethnicities and religions in the Middle East. These problems are ongoing, and will be for some time, but at least we cansee them in order to start addressing them.
In North America, things aren’t as clear. When the pilgrims arrived and built a society in the ‘new world’ they considered it as a clean break from the fighting and ideologies of the regions they had come from. Consequently, the conflict on which American society was founded is much more well-hidden. Take a look, for example, at the many independence monuments that scatter a city like Philadelphia. Philadelphia is extremely important to the American memory as the first capital of the new nation after its break from the UK, but much less known is that it was built on the site of the Lenape Indian village of Shackamaxon.
Read the plaques that adorn the monuments and the explanations in the museums, however, and you will barely ever see this mentioned. Instead, we simply read stories of groups of white men fighting each other, as if the land had been empty when they arrived. To some extent, that is the way it was considered at the time – the term terra nullius was often used by colonizers of Australia to suggest that the land belonged to nobody and was therefore ‘up for grabs’. Those exact words didn’t tend to be used in the colonizing of America, but the concept behind them was surely a part of the European mindset – and it continues to this day, where we very rarely acknowledge the former inhabitants of the continent.
This is despite the huge list of problems that continue to face the remaining native Americans. Their land has disappeared to almost nothing. Indian reservations – that is, land which the US government graciously allows the native Americans to govern for themselves – comprises only 290,000 km2 of the US. The total size of America is around 9.37 million km2, meaning reservations take up only 3% of the entire country, the rest having all been stolen. Alcoholism remains a huge problem, even so long after Europeans introduced the substance, with 12% of all native American deaths estimated to be alcohol-related – four times more than the rest of the population. And unemployment is rampant – the average rate of unemployment on reservations is 14%, double that of the US as a whole.
It’s time for Americans to stop forgetting the past, and to stop repeating it on a daily basis. It must be accepted openly, as part of mainstream culture, that the land they live on was stolen. It is too late to change that now, but by acknowledging it we can take the first true steps towards improving things for those people whose land was taken.

[ alcohol-related deaths, alcoholism, American memory, American society, continent inhabitants, current social structure, European mindset, genocide of 1915, historical actions, ignoring the past, independence monuments, Indian reservations, injustice, Lenape Indian village, mainstream culture, mixings of ethnicities, Native Americans, new nation, new world, old world, pilgrims built society, powerful people, Shackamaxon, situation of inequality, terra nullius, unemployment in America, up for grabs, US government graciously ]

Sunday, June 29, 2014

帮助穷人还是富人?

这次为大家带来了好消息!英国对外援助终于达到了0.7%大关!毫无疑问,正如您将了解到的那样,长期以来,联合国开发计划署都在鼓励富裕的国家拿出本国GDP0.7%,用作对外援助,帮助较贫困的国家克服不足,改善人民的生活质量。直到最近,还只有斯堪纳维亚国家和为数不多的其他国家成功实现了这个相当小的份额,但现在,英国也成为了其中的一员,可以在国际社会上昂首挺胸了(虽然在英国国内,由于担心惹恼认为不应该向英国以外的任何人提供资金的仇外人士,在其本国并未如此招摇)。


不幸的是,在我们开始为此大肆庆祝之前,还存在一个问题——这实际上是一个相当重要的问题,大部分的援助款都去了哪里。我们愿意想象人们会将其直接用于疫苗接种、修建学校、提供紧急医疗物资等等。但实际上,援助款大部分都会被用于旨在盈利的私人小区和项目(为当地资本家服务,同时,在许多情况下,还为英国企业所用),而非创造各种社会效益。

大部分的援助款都提供给了金融企业,然后,由他们做出对所有人都有好处的投资。这在一定程度上反映出了政府没有能力处理事务,我们只有依靠私营部门寻求最大利益。当然,这种理念完全忽略了私人部门对金钱无法满足的贪念,因此,他们会将大部分援助款投入肯定会产生盈利的项目——私人公寓楼、酒店、购物中心等等。他们所持的观点是,通过投资产生的利润,让部分当地企业富起来,最终这些资金将通涓滴效应惠及大众。他们似乎忘记了这在任何地方都未曾成功过;也从未考虑过只需将资金直接用于穷人所需的观点。

其他存在争议的方案还涉及到了农业。对部分非洲国家来说,要获得农业援助,政府必须接受严格的要求——特别是在任何情况下都不能限制出口。这意味着即使饥荒再次肆虐东非,面向国外市场的食品出口将仍然优先于当地人民的粮食供给。咖啡和巧克力等经济作物也能增加获得援助款的可能性,尽管对当地民众来说,它们几乎毫无用处;同样还有连接港口的运输工具和基础设施,它们让这些作物能快速高效地进入国际市场。这些方案在提供援助款的同时,也通过受益国获得了与援助款相当的收益,但是,许多较为贫穷的国家感觉自己别无选择,只能接受这些要求,以便获得足够的资金来为自己的人民做些事情。

实质上,这些方案证明了我们早就清楚的道理——援助通常是汲取穷国资源,维持全球经济结构性不平等(正是这种不平等让他们处于贫穷的境地)的方式,而不是要真正帮助这些地球上的可怜人。它让政府看来很棒(至少对一些人来说),同时又无需做出真正不受欢迎或会损害本国企业的需要和欲望的事情。因此,在我们制定出旨在帮助穷人而不是企业的更公正的援助新政策之前,终于实现了微不足道的0.7%这一目标,可能也并不是非常值得庆祝的事。


从英文版翻而来。原文于 611,  http://anashell.blogspot.com/2014/06/aid-for-poor-or-for-rich.html

英国对外援助, GDP, 修建学校, 提供紧急医疗物资, Ana Shell, 私人小区和项目 ]

Tuesday, June 24, 2014

Udara Adalah Hak Istimewa Kelompok Tertentu di A.S.

Sebuah penelitian di A.S. baru-baru ini memperlihatkan bahwa warga kulit putih menikmati kualitas udara yang lebih baik daripada warga kulit hitam. Tulisan ini terdengar seperti lelucon, hampir seperti berita utama yang Anda baca di The Union. Namun, sebenarnya hal ini adalah suatu fenomena yang terjadi di wilayah A.S. yang populasi mayoritas kulit putih secara konsisten menikmati kualitas udara yang lebih baik daripada wilayah dengan populasi mayoritas kulit hitam. Mengingat efek yang bisa ditimbulkan oleh kualitas udara pada kehidupan sehari-hari dan harapan hidup kita, penemuan ini memiliki banyak implikasi.



Memang, temuan ini telah dicap rasis dan hal itu memang benar hingga taraf tertentu. Namun, dalam temuan tadi menyangkut sebuah elemen dalam kehidupan kita yang tidak kerap dibahas oleh media oleh media, yaitu kelas dalam masyarakat. Hasil ini dapat ditulis secara berbeda jika penekanannya diubah. Kita dapat berkata bahwa orang-orang miskin biasanya menikmati udara yang lebih buruk dari pada orang-orang kaya, sayangnya lebih banyak orang kulit hitam yang miskin dibandingkan dengan orang kulit putih.

Dari situ kita harus menggali lebih dalam alasan-alasan banyak orang kulit hitam dalam statistik kemiskinan Amerika. Untuk memulainya mungkin kita bisa bertanya mengapa orang-orang miskin dengan warna kulit apapun menikmati kualitas udara yang lebih buruk dibandingkan dengan orang-orang kaya? Alasannya adalah tata ruang, sebuah konsep yang lebih dipahami oleh akademisi di bidang geografi dibandingkan dengan jurnalis surat kabar. Orang-orang kaya Amerika selalu dipisahkan secara spasial dari orang-orang miskin. Jika kita melihat peta banyak kota besar Amerika, kita bisa melihat wilayah tempat tinggal orang-orang kaya dan wilayah tempat tinggal orang-orang miskin. Jika wilayah-wilayah tadi dikunjungi, kita akan melihat dengan jelas perbedaan pada pembangunan lingkungan di sana dan kualitas udaranya.

Wilayah tempat tinggal orang-orang miskin memiliki pajak pendapatan yang lebih rendah sehingga sulit untuk membiayai pelayanan dan fasilitas yang akan membantu mengatasi polusi udara seperti taman kota dan rumah sakit. Tempat-tempat ini berada pada prioritas terbawah dalam pertemuan-pertemuan perencanaan kota dan hal itu berarti, kebanyakan jalan bebas hambatan di A.S. akan melewati kota-kota miskin ini. Karena tingkat pengangguran dan marginalisasi yang tinggi, para warga kota-kota miskin tak punya banyak pilihan selain menerima pekerjaan dari industri yang mencemari lingkungan. dibandingkan dengan mereka yang kaya yang memiliki pilihan dan kuasa untuk menolaknya. Itu sebabnya, kebanyakan pabrik, depot-depot produksi, dan tempat pembuangan sampah di Amerika dapat ditemukan di wilayah-wilayah miskin.

Saat siklus seperti ini dimulai, maka akan sulit untuk menghentikannya. Harga-harga perumahan turun karena kualitas lingkungan yang buruk, dan saat harga-harga naik di wilayah lain kota, maka lebih banyak orang miskin dan pengangguran terpaksa pindah ke wilayah lingkungan yang buruk. Belum lagi kenyataan bahwa kebanyakan dari orang-orang miskin ini berkulit hitam merupakan skandal tambahan. Semuanya ini meperlihatkan bahwa meski mimpi pasar bebas Amerika berhasil dinikmati para pemenang, namun mimpi tadi mengasilkan lebih banyak pihak yang kalah dengan banyak sekali efek negative.

Sepertinya, keadaan harus terus memburuk sebelum timbul perbaikan. Tingkat perbedaan  di  A.S. telah meningkat selama beberapa waktu setelah sebelumnya diatur ulang oleh kemakmuran abad ke-20. Kini A.S. telah didominasi lagi oleh kuasa korporat dan kepentingan orang kaya seperti di abad ke-19. Isu kualitas udara dan pemisahan tata ruang hanyalah salah satu gejalanya. Hal ini hendaknya menjadi peringatan bagi kita untuk segera membuat perubahan jika kita ingin kembali menyamakan hubungan antara pemenang dan yang kalah dalam dunia kapitalis Amerika.



Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 20.05.2014: http://anashell.blogspot.com/2014/05/in-us-class-privilege-is-in-air.html

[ warga kulit putih, lebih baik daripada, orang kulit hitam kemiskinan Amerika, orang-orang miskin, orang-orang kaya Amerika, pembangunan lingkungan, kualitas udaranya, Ana Shell ]

Monday, June 23, 2014

Energy dependency is a problem for us all, not just Ukraine

The news from Ukraine these days just seems to get worse and worse for the country. Military planes are being shot from the sky by rebels, the eastern half of the country is still trying to secede (despite Russia not being quite so vocally supportive anymore), and the Crimean region seems to have been irreversibly lost to Putin at this point. Now, to top it all off, the Russian energy company Gazprom has turned off Ukraine’s gas supply, claiming that the country has not yet paid what it owes. The only vaguely positive spin on this is that at least it didn’t happen in the middle of the winter.
Now of course this decision by Gazprom is political rather than financial. There has just been a new Ukrainian president elected, in an election that Russia essentially considers void because it doesn’t accept the recent revolution that kicked Yanukovych out of the country. And Russia has a desire to keep flexing its newfound muscle on the international stage, showing the world that it is once again a power that should not be messed with. After all, if countries were cut off for not immediately paying their debts, almost nowhere in the world would have any energy right now.
And that’s part of the problem. As we’ve discussed in previous blogs, our global energy system is no longer working well. It’s based around widespread use of fossil fuels that are increasingly scarce and increasingly controlled by only a few countries around the world. If access to those fuels dries up, countries suddenly find themselves in a whole lot of trouble, often unable to provide even basic services to their people.
It is this energy system that is allowing Russia to bully Ukraine right now. It is also this energy system that led to the US decision to invade Iraq, in an attempt to rewrite the oil-rich Middle East region in their own image, and to gain control of enough fuel supplies to keep their unsustainable economy running for a long time. It is this energy system that allows the OPEC cartel to control prices for ordinary consumers around the world. And it is this energy system that causes us to continually dig for more and more fossil fuels in less and less conventional places – under the Arctic, in the tar sands, in Alaska, and so on.
Almost all countries in the world are far too dependent on oil and gas for their energy needs, and this leaves them far too dependent on one or two key suppliers. This fact is starkly illustrated by the fact that the Gazprom shutdown of Ukraine’s energy supply is worrying the EU, who are concerned that even their superpower bloc may not get access to enough fuel for this year unless the flow from Russia gets turned back on promptly. Instead of self-sufficiency and sustainability, which are the goals that all countries should be striving after, we have dependence on dirty fuels.
Many people make a lot of money from this system; the people who suffer the most from it are those who are already poor. They pay high prices at the gas pumps, or to heat their homes in the west. And in the developing world they suffer from the early effects of climate change, killing their crops, flooding their villages, destroying their livelihoods.
What the Ukraine incident shows is the need for greater self-sufficiency in energy sources for all countries, and the need to focus on alternative energy technologies. Rather than being reliant on Russian gas, Ukraine – and the rest of us – should be focusing on cleaner, greener, renewable technologies that are much more easily accessible throughout the world. In designing a new world energy system over the next few decades, these need to be priorities for the international community.
[ basic services, control prices, Crimean region, dependent on oil and gas, destroying livelihoods, developing world, dirty fuels, early effects of climate change, energy dependency, energy right, energy sources, energy system, flooding villages, fossil fuels, fuel supplies, gas pumps, gas supply, Gazprom, global energy system, international community, invade Iraq, key suppliers, killing crops, military planes, new Ukrainian president, oil-rich Middle East region, on international stage, OPEC cartel, ordinary consumers, recent revolution, renewable technologies, Russian energy company, Russian gas, superpower bloc, Ukraine energy needs, Ukraine incident, Ukraine’s energy supply, unsustainable economy, Yanukovych ]

Tuesday, June 17, 2014

终结反恐战争

极端主义教派博科圣地(Boko Haram)在尼日利亚绑架了200名女学生,这在国际媒体上引起了轩澜大波,一部分是由于这一事件的恶劣性质,一部分也是由于绝对不可能实施涉及人数如此之多的绑架,且无人知晓受害人被带往何处的情况。目前,这一事件的焦点集中在了尼日利亚政府的反应上——一个因无力保护本国公民而臭名昭著的政府,一个更关心继续从西方获得石油收入的政府。正是该国政府在面对奥格尼地区爆发的反对石油抗议时,处死了活动的领袖肯·萨罗-维瓦(Ken Saro-Wiwa),这一举动在随后数年内,在该国糟糕的公关方面产生了引人注目且适得其反的效果。


如今,事实证明,他们无力对付伊斯兰组织——博科圣地,该组织名称大意西方教育即罪恶——因此,他们把女学生当成了目标。尼日利亚政府似乎无力阻止盘踞在该国北部沙漠中的恐怖分子,相反,却开始逮捕在首都阿布贾呼吁采取行动的抗议组织领导者——这个倒霉的政权进行的又一次糟糕的公关。

近年来,伊斯兰教武装分子一直肆虐在撒哈拉地区,博科圣地也是组成这股浪潮的一部分。在2012年,于马里北部发起图阿雷格革命的极端组织身上,我们能看到类似的意识形态,该行动随后在法国部队的帮助下被击退。这似乎给我们提供了另一个暗示,即全球反恐战争经历着惨败,需要寻求新的途径。结果证明,入侵伊斯兰教为主的国家和无人机轰炸对消灭单个恐怖分子可能非常有效,但是,在阻止形成新的恐怖分子方面却收效甚微——如果说有任何效果,似乎也只是鼓励人们拿起武器,反抗西方和由西方撑腰的非洲政府,因为他们将其视为对教友的压迫。

即使在针对恐怖主义的战争之外,以西方为主导的政策也为尼日利亚等国的恐怖主义提供了进一步的动力。石油产业集中了如此多尼日利亚的资源,从中获益的却只是使用这些石油的西方国家和从上到下窃取利益的腐败政客,对长期受苦的尼日利亚人民来说,余下的只是杯水车薪,为其提供急需的服务。这种情况毫无意外地导致了该国大部分地区——特别是拉各斯和阿布贾等资金相对充足以外的地区——对政府失去信心,或者出现更糟的情况,强烈地鄙视政府。如此发展只会鼓励声称遵守宗教法,人于贫困和灾难中的民粹主义宗教运动,正如博科圣地的行动一样。

与其专注于战争和尝试强迫民众接受民主(如强制民主身不存在矛盾的话),我们更需要找到阻止此类极端主义传播的新途径。我们需要国际化的发展政策,给予这些国家真正的帮助,让其摆脱贫困,而不是依靠西方提供的石油资金维持生存。同时,我们需要停止对现行体制的容忍,因其利于西方企业的利益,而对本国的人民进行独裁统治,损害人民的利益。我们只能寄希望于这起可怕的绑架事件,将有助于我们的领导人意识到,在只有暴力应对的情况下,极端主义不会消失,进而推动他们采取这些新的政策。


从英文版翻而来。原文于 515, http://anashell.blogspot.com/2014/05/an-end-to-war-on-terror_15.html

[ 终结反恐战争, 极端主义教派博科圣地, Boko Haram, Ken Saro-Wiwa, 斯兰组织, Ana Shell ]

Sunday, June 15, 2014

Waktunya untuk Mengubah Budaya Minyak Kita

Angka-angka terbaru yang datang dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa kegembiraan akan adanya sumber gas dari batuan serpih (shale) mungkin masih terlalu prematur.   Shale telah dipromosikan sebagai jawaban atas pertanyaan terhadap kemandirian energi AS, dan diklaim bahwa ada 17 miliar barel minyak di bawah tanah Kalifornia sendiri - cukup untuk menjalankan bisnis seperti biasanya untuk jangka waktu lama, dan cukup untuk benar-benar menghancurkan peluang yang mungkin kita miliki agar terhindar dari bencana perubahan iklim.  Ada sedikit masalah lain yaitu untuk mengekstrak gas dari shale memerlukan teknik yang benar-benar merusak, dikenal dengan nama rekah hidrolik (fracking), yang merusak tanah dan pasokan air.



Namun, angka-angka baru ini mengindikasikan bahwa angka-angka tersebut mungkin harus dipotong sampai 96%.  Ya, jumlah sebenarnya kandungan gas di bawah Kalifornia sepertinya hanya merupakan fraksi yang sebelumnya dibayangkan oleh para eksekutif dari industri perminyakan dan penentang perubahan iklim.  Hal ini memperlihatkan optimisme yang kerap muncul bersama dengan penemuan bahan bakar fosil baru, mulai dari pasir tar, minyak Arktik, hingga cadangan gas dari shale.  Setiap kali kita mendengar dari mereka yang percaya bahwa kita telah menyelesaikan masalah Peak Oil, dan akhirnya kita selalu menemukan cara untuk menunda beberapa tahun sambil terus mencemari lingkungan.

Tentu saja, rekah hidrolik (fracking) bukanlah sebuah gagasan yang baik, bahkan jauh sebelum evaluasi ulang terhadap kandungan shale dilakukan.  Sebegitu buruknya kontaminasi yang disebabkan oleh rekah hidrolik untuk gas shale ini dapat mencemari air sehingga orang dapat menyalakan api di air tersebut, seperti dapat kita tonton di film Gasland.  Rekah hidrolik juga telah dituduh sebagai penyebab gempa bumi di wilayah sekitar Blackpool in barat laut Inggris, dan kampanye yang gencar menentang teknik yang merusak ini semakin dikenal dan berlangsung di seluruh Inggris Raya saat ini, seperti yang telah kita bahas di blog ini sebelumnya.  Anda pikir bahwa gabungan fakta-fakta ini, bersama dengan temuan-temuan baru bahwa sebenarnya tidak banyak gas dari shale yang dapat diekstrak, akan mengakhiri kegiatan rekah hidrolik, tetapi hampir dapat dipastikan rekah hidrolik akan tetap dilanjutkan karena budaya kita nampaknya bersikukuh untuk memilih bahan bakar fosil daripada alternatif yang lebih bersih.

Kita perlu untuk mengatasi masalah budaya ini segera.  Mengapa kita harus membedakan bahan bakar fosil ketika bahan bakar jenis ini tersedia untuk kita? Mengapa kita terlihat sulit untuk menerima fakta bahwa sumber daya energi yang tak terhingga ada di sekeliling kita, seperti angin, matahari, dan air yang membuat kita tetap hidup? Mungkin ada pandangan bahwa teknologi alternatif ini cukup 'macho' - menggelikan memang, tetapi sepertinya ada sebuah kekuatan besar yang aneh dari para pembuat keputusan.  Atau mungkin ini hanya sebuah kasus dari kepentingan mengakar dari industri migas yang tidak menginginkan kita berpindah ke teknologi baru - meskipun ini adalah hal yang selalu dilakukan manusia sepanjang sejarah.

Apapun alasannya, angka-angka baru tentang jumlah gas shale seharusnya menjadi bagian dari sentakan budaya yang meluas dan kita harus mulai menjauhi bahan bakar fosil.  Pada akhirnya kita harus memahami, benar-benar memahami, bahwa migas yang tersisa di planet kita sudah tidak cukup untuk tetap mempertahankan gaya hidup kita tanpa batas.  Artinya, kita harus mengubah gaya hidup saat ini dari fokus kita pada konsumsi dan kenyamanan, yang nampaknya tidak mungkin terjadi, atau kita mulai secara serius untuk untuk mengeksplorasi sumber daya-sumber daya energi alternatif daripada membuang-buang uang pada gas shale dan skema lain yang merusak.  Ini juga berarti bahwa kerja sama antarbangsa, yang berarti meyakinkan masyarakat bahwa bahan bakar fosil itu bukan sesuatu yang spesial, dan ini juga berarti keberanian mengambil keputusan.  Namun, semua itu dapat dilakukan, kenyataannya ini harus dilakukan, apabila pilihan lain kita adalah sejumlah kecil gas shale yang berada di lapisan bebatuan di bawah bumi Amerika.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 2.06.2014: http://anashell.blogspot.com/2014/06/time-to-change-our-oil-culture.html

kemandirian energi AS, rekah hidrolik, tanah dan pasokan air, bakar fosil baru, Peak Oil, mencemari lingkungan, Ana Shell

Wednesday, June 11, 2014

Aid for the poor or for the rich?

Good news for once! British foreign aid has finally reached the 0.7% mark! As you will no doubt know, there has been a longstanding target encouraged by the UN Development Programme to encourage rich countries to give 0.7% of their GDP as foreign aid to help poorer countries overcome their disadvantages and improve the lives of their citizens. Until recently, only the Scandinavian countries and a few others had managed to achieve this fairly small sum, but now Britain can join the club and hold its head up high in the international community (although not so much at home, where this success has been barely mentioned for fear of annoying the xenophobes who believe no money should be given to help anyone outside of the country).
Unfortunately, before we start celebrating too wildly, there is a problem – and it is the rather major one of where most of the money is actually going to. We like to think that aid money goes directly into vaccination campaigns, building schools, providing emergency medical supplies, and so on. In actual fact, a lot of it goes into private developments and projects that aim at generating a profit (for local capitalists and in many cases British corporations as well) rather than achieving many social benefits.
Much of the money is placed into financial corporations, who then choose where to invest it for the good of everyone. This is part of the ideology that the government has no ability to run things competently, and that we should all rely on the private sector to look out for our best interests. Of course, this completely ignores the private sector’s insatiable drive for more and more money, and consequently much of the aid money ends up going into things that will be unambiguously profitable – private apartment buildings, hotels, shopping centres, and so on. The idea is that by making certain local businesses rich on the profits of these investments, the money will eventually ‘trickle down’ to the general population. That this has not worked anywhere in the world seems to be ignored; the idea of simply giving the money directly to the things that poor people need is not entertained.
Other controversial schemes involve agriculture. In some African countries, agricultural aid is only being given if governments agree to strict requirements – in particular, not to restrict exports under any circumstances. This means that even if a famine hits East Africa again, exports of food for foreign markets will still take priority over feeding the local population. Cash crops like coffee and chocolate are also more likely to receive aid money, despite being of almost no use to local people; as are transport and infrastructure links to ports, allowing these crops to get onto the world market quickly and efficiently. These schemes benefit the country providing the aid money as much as the country receiving it, but many poorer governments feel they have no choice but to accept these requirements in order to get enough money to do something for their own people.
Essentially, these schemes prove what we have long known – that aid is often a way to extract resources from poor countries and to prop up the structural inequalities in the global economy that keep them in poverty, rather than a means to truly help the wretched of the earth. It makes governments look good (at least to some people), while not requiring them to do anything really unpopular or detrimental to the needs and desires of the corporations from their countries. Consequently, until we devise a new and fairer aid policy that actually aims to help poor people rather than businesses, there is perhaps not too much to celebrate about finally hitting that tiny 0.7% target.

British corporations, British foreign aid, building schools, cash crops, controversial schemes, encourage rich countries, fairer aid policy, feeding local population, financial corporations, food exports for foreign markets, foreign aid, GDP, general population, generating profit, global economy, help poorer countries, improve lives of citizens, international community, local businesses, local capitalists, poorer governments, private apartment buildings, private developments, private hotels, private sector, private shopping centres, providing emergency medical supplies, restrict exports, Scandinavian countries, social benefits, strict requirements, structural inequalities, UN Development Programme, unambiguously profitable, vaccination campaigns, world market

Sunday, June 8, 2014

存在于美国空气中的等级特权

最近在美国开展的研究结果表明,白人呼吸的空气质量比黑人的更好。这样直截了当地写出来,听起来就像是一个玩笑,就和您将在《洋葱新闻》中可能看到的那类标题一样。但实际上,这是一个相当严重的现象——在美国,与大部分是黑人居民的地区相比,居住人口主要是白人的地区空气质量始终会更好。考虑到空气质量对我们日常生活以及预期寿命的影响,这一发现就有了诸多含义。


人们将这些发现描述成了种族问题,当然,在一定范围内,它们的确是种族问题。但同时,这也涉及到了我们生活中的另一个元素,而媒体通常不会喜欢涉及这个方面——那就是等级。只要调整重点,这些结果就可以很容易地以不同的方式呈现出来——到时,我们就可以说与富人相比,穷人更容易呼吸到糟糕的空气,而恰好贫穷的黑人比白人多而已。

下面,我们必须仔细探究黑人在美国的贫困统计结果中所占比例较高的原因,但是,在开始之前,我们也需要思考一下为什么与富人相比,任何人种的穷人都要忍受更差的空气质量。专心学术的地理学家比报刊作者更熟悉解释其中原因的概念——空间隔离。美国的富人几乎总是在空间上和穷人高度隔离。只要我们看看美国任意一个大城市的地图,就能认出富人和穷人的居住区——如果我们前往这些地区看一看,还能清楚地看到建筑环境和空气质量的差别。

穷人居住的地区征得的税收收入更少;也就不太可能提供公园和医院等有助于处理空气污染的服务和便利设施;在城市规划会议上,他们获得的关注更少,这意味着美国大部分主要的高速公路都会从城镇的贫困地区穿过;另外,由于较高水平的失业率和边缘化,他们又拼命地接受污染性产业提供的工作机会,而更为富裕的地区则可以也有能力拒绝这类产业——这也是为什么美国绝大多数的工厂、制造仓库和垃圾场都位于贫困地区的原因。

这类循环一旦开始就很难再停下来——糟糕的环境质量让房地产的价格下降,同时,城镇其他地区的价格却在上涨,这就迫使更多的穷人和失业人员前往贫穷的地区落脚。在这些穷人中,大部分都是黑人,这是加重这一现象的又一件让人愤概的事情。整件事似乎表明,美国的自由市场梦对赢家起了很大作用,但同时制造了太多的失败者和针对失败者的消极影响。

然而,现在的情况似乎在能有所改善之前,还将变得更糟。继20世纪的繁荣在一定程度上重置了美国的不平等水平之后,一段时间以来,这一水平又开始不断上升。如今,企业的力量和富人的利益又一次成为了美国的主宰,和19世纪的情况几乎一样。空间隔离及其引起的空气质量的问题不过是其中的一个症状——藉由这个症状,我们也应该警醒,意识到如果我们需要再次均衡美国赢家和失败者的关系,就必须尽快做出改变。


从英文版翻而来。原文于 520, http://anashell.blogspot.com/2014/05/in-us-class-privilege-is-in-air.html

空气质量, 洋葱新闻, 黑人居民, 白人的地区, 穷人居住的地区, Ana Shell, 美国的不平等水平之

Thursday, June 5, 2014

Membangun Etika Kerja pada Anak

Apakah orang tua dengan penghasilan 10.000 dolar per bulan perlu membangun kebiasaan bekerja keras pada anak-anak mereka?  Banyak orang tua membangun kebiasaan wajib bekerja dengan cara memaksa anak-anak mereka.  Meski ilmu pedagogi tidak mendukung, kebanyakan orang tua berupaya memaksa anak-anak mereka untuk bekerja  melalui intimidasi secara emosional.  Beberapa orang tua memiliki keyakinan pada cara yang tidak mempunyai dasar ilmu pengetahuan sama sekali tentang nilai evolusi kerja; idenya bahwa dengan bekerja telah membantu kera berubah menjadi manusia, orang-orang prasejarah mengajari anak-anak mereka bekerja sejak dini.
Keyakinan tanpa dasar ilmiah tentang motivasi untuk bekerja menciptakan adalah propaganda ciptaan pemerintah dan keyakinan itu tidak benar.   Motivasi sesungguhnya untuk bekerja (misalnya berburu) tidak berasal dari keinginan untuk terlihat baik di mata kenalan Anda, namun lebih karena naluri bertahan hidup.  Manusia yang lapar akan memburu antelop dan memancing ikan untuk memberi makan diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
Keluarga-keluarga zaman purba hidup bersama dalam rumah tangga yang besar.  Orang tua zaman purba tidak pernah berpikir untuk membangun etika kerja dalam diri anak-anak mereka mengingat anak-anak ini lapar setiap hari.  Sejak dini, anak-anak ini melihat sendiri ibu, ayah, dan kakek nenek mereka berupaya keras untuk bertahan hidup.  Hal ini dengan sendirinya mencetak pola kebiasaan dalam diri anak-anak.  Mereka tidak hanya melihat ayah mereka pergi berburu namun juga melihat sang ayah kembali dengan atau tanpa hasil buruan.
Sering kali rumah dan ruang kerja tidak dipisahkan oleh pembatas dan anak bisa langsung berada di bengkel kerja hanya dengan turun ke bawah dari ruang keluarga di lantai atas.  Pekerjaan yang dilakukan dari rumah adalah fondasi bagi keluarga pekerja. Saat bertumbuh dewasa, sang anak mulai membantu keluarga dengan sendirinya.  Seorang wanita yang menikah dan tinggal dengan keluarga suaminya akan melakukan tugas-tugas yang sama yang biasa dilakukannya di rumahnya sendiri dengan ibunya. Proses mengembangkan kebiasaan bekerja dalam diri anak-anak selalu berkaitan dengan kesulitan sehari-hari dalam kehidupan keluarga.
Dalam masyarakat modern, motivasi untuk makan telah ditinggalkan dan digantikan dengan kebutuhan masyarakat, serta pekerjaan keluarga pun telah menghilang. Kapitalisme dan pemerintah telah mengambil anak-anak yang cerdas dari keluarga mereka untuk mengisi jabatan-jabatan penting pada perusahaan dan anak-anak yang biasa-biasa sajadiberikan pekerjaan yang tidak terlalu penting.  Itulah sebabnya anak-anak modern tidak dapat mengamati pengalaman orang tua mereka dan anggota keluarga yang lain.
Pagi hari, anak-anak dan orang tua bergegas menuju tempat kerja mereka dan hanya memiliki kesempatan untuk bertemu sebagai keluarga saat makan malam. Anak-anak bergantung pada media dan model perilaku yang diciptakan oleh perusahaan sebagai pedoman hidup.  Itulah sebabnya media massa memainkan peranan yang amat penting dalam membodohi massa dan menciptakan motivasi perilaku bagi anak-anak modern.  Perusahaan telah mengambil waktu dan ruang vital dalam keluarga modern. Dalam setahun, sebuah keluarga modern hanya memiliki sepuluh hari untuk dihabiskan bersama, dan waktu ini dihabiskan untuk berwisata daripada untuk usaha keluarga.
Mari kita menengok pada keluarga tradisional Cina dan rumah/ruang kerja mereka sebagai contoh paling bagus untuk menghubungkan antara pekerjaan keluarga dan bisnis.  Sebuah keluarga besar yang terdiri dari sepuluh anggota keluarga atau lebih tinggal di rumah toko bertingkat dua hingga tiga yang sempit. Toko atau ruang kerja biasanya berada di lantai dasar.  Banyaknya kompetisi di dalam keluarga memaksa anak-anak untuk bekerja lebih dari delapan jam per hari.  Namun, pekerjaan yang dilakukan bukanlah untuk seorang majikan, melainkan bagian dari kehidupan tradisional keluarga yang termasuk bekerja, dan pekerjaan tidak dilihat begitu saja.   Kebebasan kehidupan keluarga inti mencegah majikan (pemberi kerja) mendapatkan penghasilan tambahan dari masing-masing anggota keluarga, dan akibatnya keluarga seperti ini diserang.
Keluarga tradisional seperti ini kerap diperbudak oleh negara, yang ingin menerima pemasukan dari setiap keluarga untuk kas negara atau menjalankan keinginan pemberi kerja global.  Negara menindas keluarga-keluarga semacam ini dalam banyak hal, termasuk menaikkan sewa rumah sehingga negara dapat terus mempertahankan monopoli dalam jenis bisnis tertentu.  Keluarga pekerja seperti ini sesungguhnya mampu menghidupi diri sendiri atau melakukan barter dengan biaya sepuluh kali lipat lebih murah (dari usaha kantin milik keluarga) dibandingkan dengan yang pemerintah dapat sediakan.
Kini di Singapura, rumah yang dijadikan tempat usaha hampir tidak ada lagi.  Rumah yang dijadikan tempat usaha (ruko) masih tersebar di RRT, Vietnam, dan banyak negara lain. Jika Anda menanyakan keluarga-keluarga di sana tentang caranya membangun kebiasaan bekerja pada anak-anak mereka, reaksi yang Anda dapatkan adalah tatapan keheranan, karena anak-anak mereka hidup dalam keadaan bahagia dan bukan sebagai tenaga kerja paksa.
Kita sering melihat anak-anak dari keluraga dengan penghasilan di atas 10.000 dolar per bulan menjadi parasit sosial.  Hal ini terjadi karena pembagian tenaga kerja modern memungkinkan untuk mempekerjakan pembantu rumah tangga lebih dari satu, yang pekerjaannya membebaskan anak-anak dari beban kebutuhan. Dalam keluarga seperti ini rasa lapar tidak lagi menjadi kekhawatiran. Kebutuhan yang tersisa adalah kebutuhan akan hiburan yang dipuaskan lewat melancong, mobil, pakaian, dsb. Dari sudut pandang sosial yang lebih luas, orang seperti ini adalah parasit yang sulit menemukan tempat mereka dalam masyarakat.  Sering kali, anak-anak seperti ini tidak dapat menemukan pekerjaan yang pantasuntuk diri sendiri sehingga orang tua mereka harus ikut campur agar mereka mendapat pekerjaan.
Kesimpulannya, anak-anak tidak dapat diajar etika kerja tanpa ada rasa membutuhkan.  Orang tua harus menciptakan kebutuhan seperti ini dalam diri anak-anak mereka meski keluarga mereka memiliki kekayaan yang menjamin masa depan.  Hal ini dapat dicapai orang tua dengan melibatkan anak-anak mereka dalam usaha keluarga.

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 9.05.2014: http://anashell.com/anashell/2014/05/09/developing-work-ethic-children/'
[ kebiasaan bekerja keras, intimidasi secara emosional, dasar ilmiah, propaganda ciptaan pemerintah, kehidupan keluarga, masyarakat modern, Ana Shell, Membangun Etika Kerja pada Anak ]