Monday, January 27, 2014

Energi Indonesia

Pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Yang Mulia Bapak Djauhari Oratmangun
Saya terbang ke Jakarta pada tanggal 14 Januari karena mendapat kabar bahwa Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Bapak Djauhari berada di Indonesia.  Bapak duta besar mempunyai kemampuan luar biasa untuk membuat dirinya disibukkan dengan berbagai kegiatan dan keramahtamahan.  Beliau telah mendukung sejumlah proyek yang berpotensi membantu mengembangkan berbagai industri di Indonesia, dan selama pertemuan dua kali dengan beliau, kami membahas potensi besar untuk energi ramah lingkungan di Indonesia.  Indonesia dikaruniai cahaya matahari yang melimpah dan kelembapan yang tinggi - kondisi yang sempurna untuk perkembangbiakan beraneka ragam tumbuhan setiap tahunnya - dan bapak duta besar telah memberi tanda akan ketertarikan beliau pada metode yang ada untuk mengonversi tumbuh-tumbuhan (biomasa) menjadi energi listrik yang hemat biaya. 

Pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Yang Mulia Bapak Djauhari Oratmangun: Bapak Djauhari, Ana Shell, Dede Apriadi (Pemimpin redaksi, PT NET Mediatama Indonesia)
Kenyataannya adalah teknologi gasifikasi biomasa yang ada saat ini untuk menghasilkan listrik tidak menguntungkan secara ekonomi.  Saya telah menjelaskan hal ini dalam publikasi saya sebelumnya. Saat ini, kompetisi antara bahan-bahan mentah murah seperti minyak mentah dan gas itu sia-sia.  Namun, gasifikasi biomasa dapat bersaing selayaknya dengan minyak mentah dan gas apabila memenuhi dua syarat berikut ini.  Syarat pertama, adanya turbin gas yang murah (sebagai bagian dari sistem gasifikasi), dengan harga yang tidak lebih dari US$250 per 1 kW/jam kapasitas.  Turbin seperti ini akan menghasilkan listrik murah untuk seluruh fasilitas gasifikasi (dengan demikian turbin ini menjadi turbin mandiri), dan juga menghasilkan listrik hemat biaya serta listrik tambahan untuk dikonsumsi pasar.  Misalnya: biaya 10 MW/jam turbin gas di pasaran saat ini adalah US$10 juta, yang menghasilkan listrik dengan biaya US$0,18. Idealnya, biaya turbin gas tidak bisa lebih tinggi dari US$2,5 juta sehingga dapat menghasilkan listrik dengan biaya US$ 0,06.

Syarat kedua adalah turbin baru harus mempunyai efisiensi yang tidak kurang dari 60%. Jenis turbin gas ini (Eco-SV turbine) sedang dikembangkan oleh perusahaan Singapura, NRGLab Pte Ltd., dengan pendanaan yang berasal dari Ana Shell Fund.

Pertemuan dengan PT Medco Power Indonesia
Saya bertemu dengan tim dari PT MedcoEnergy pada tanggal 15 Januari.  Topik utama diskusi kami adalah kemungkinan untuk memulai kerja sama bisnis untuk pasar lokal Indonesia dan pasar energi global. 
Di Indonesia, listrik yang diproduksi dari gasifikasi biomasa bisa menjadi jenis produksi utama energi dalam waktu dekat.  Harga bambu, limbah sawit, atau sekam padi per ton setara dengan harga 180 kg LNG (yaitu US$70) atau 1 ton batu bara (US$50). Hal ini berarti bahwa jumlah listrik yang sama, yaitu 1,5MW/jam, dihasilkan dengan membakar 180 kg LNG, 1 ton batu bara, atau 1 ton limbah sawit, sekam padi, atau bambu.  
Bagaimanapun, untuk Indonesia akan lebih menguntungkan dengan membakar biomasa, karena jenis bahan bakar ini adalah sumber energi terbarukan dan dua kali lebih murah daripada minyak mentah.  Apabila disetujui, maka konsep ini memungkinkan Pemerintah Indonesia untuk mengekspor minyak mentah dan LNG, dan menarik mata uang asing.  Dengan harga limbah pertanian atau tumbuhan liar sebesar US$10 per ton, maka harga satu kW/jam listrik diperkirakan sebesar US$0,5-0,8.

Pertemuan dengan Medco Power
Saya berbicara selama satu jam dengan Bapak Soetrisnanto, Senior Advisor, dan Bapak Hernawan, Business Development Consultant, dan tim Medco tentang pemanfaatan energi yang dihasilkan dari gasifikasi biomasa.  Secara pribadi saya menyukai strategi yang diperkenalkan oleh Dewan MedcoEnergy untuk menjadi "perusahaan energi yang disukai" para investor, pemegang saham, mitra, karyawan, dan masyarakat.  Kami memutuskan untuk bekerja sama (dari pihak saya melalui NRGLab) pada proyek gasifikasi biomasa dan generator listrik, yang bisa sangat menguntungkan di pasar.   MedcoEnergi dan Pemerintah Indonesia telah mengumumkan niat mereka untuk mengurangi konsumsi minyak sebesar 25% dalam waktu lima tahun mendatang dengan mengenalkan proyek-proyek energi alternatif, termasuk pengembangan energi geotermal.  Pada tahun 2025, Jakarta berniat meningkatkan produksi energi alternatif sebesar 9 ribu megawatt, yang akan memungkinkan untuk menghemat 4 miliar barel minyak mentah selama kurun waktu tersebut.

Ana Shell di Jakarta

PT Sarana Multi Infrastruktur
Saya bertemu dengan pimpinan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) pada tanggal 16 Januari untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut terhadap proyek gasifikasi biomasa dengan menggunakan turbin gas NRGLab Pte. Ltd. Predir PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), Ibu Emma Sri Martini dan timnya akan menyediakan solusi teknis bagi pembangunan infrastruktur, sehingga akan menjamin pertumbuhan proyek-proyek energi terbarukan secara nasional.
Kami juga membahas sebuah proposal untuk memanfaatkan 10 juta ton residu berat yang dikeluarkan dari kilang minyak Pertamina setiap tahunnya.  Dengan menerapkan teknologi Viscoil, 10 juta ton residu berat tersebut dapat diubah menjadi 6 juta ton bahan bakar disel, yang akan menghasilkan laba sekitar US$3 miliar.  Biaya modal untuk melengkapi kembali kilang minyak diperkirakan sebesar US$30 juta, dan proyek ini akan berlangsung selama 6 bulan. Sebagai perbandingan: biaya modal membangun 8 kilang pemecahan viskos (visbreaking) membutuhkan waktu tidak kurang dari 10 tahun dengan  biaya US$6 miliar. 

Pusat Investasi Pemerintah (PIP)
Saya juga bertemu dengan manajemen PIP yang dikepalai oleh Pak Siregar, beliau mendengarkan pemaparan dua proyek yang diajukan dan menujukkan peran potensial PIP dalam proyek-proyek tersebut.  Saya menyimpan harapan tinggi bahwa PIP akan menjadi katalis untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur dalam sektor-sektor strategis utama perekonomian Indonesia.  Kami telah sepakat untuk mengembangkan sebuah strategi untuk proyek tersebut bersama-sama, menyediakan penilaian untuk mengurangi risiko secara terperinci, dan berusaha membereskan aspek hukum agar dapat membuat kesepatakan investasi dengan PIP yang potensial.  Bapak Soritaon Siregar menunjuk dua staff ahlinya, Julia dan Puji, untuk bekerja dengan Ana Shell Fund dan langsung menyiapkan semua dokumentasi yang dperlukan (lihat foto di bawah ini).

Pertemuan dengan manajemen Pusat Investasi Pemerintah (PIP): Julia Rahmi, Ana Shell, Puji Sugia Harjiman

Sebagai catatan pribadi, saya ingin mengomentari tingkat keoptimisan penerapan energi geotermal di Indonesia.  Mahalnya biaya pemanfaatan energi dari "gunung berapi" tetap menjadi kendalanya: biaya pembangkit geotermal dua kali lebih mahal daripada PLT batu bara dengan kapasitas yang sama; terlebih lagi, pekerjaan ini membutuhkan riset selama bertahun-tahun dan mengembangkan desainnya.  Proyek gasifikasi biomasa NRGLab dua kali lebih murah dan lebih cepat; dan juga memanfaatkan material terbarukan sebagai bahan-bahannya yang tersedia di Indonesia.  Proyek kedua kami - memproduksi 6 juta ton disel dari residu berat kilang-kilang minyak Pertamina, dapat dilaksanakan dalam waktu satu tahun dengan investasi minimum.  Yang Mulia Bapak Duta Besar Djauhari Oratmangun telah mengidentifikasi kedua proyek ini sebagai awal dari kerja sama strategis jangka panjang kami. 

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 27 Januari: http://anashell.com/anashell/2014/01/27/energy-indonesia/
energi Indonesia, Duta Besar Indonesia, Bapak Djauhari Oratmangun, energi ramah lingkungan, energi listrik, gasifikasi biomasa, menghasilkan listrik, menguntungkan secara ekonomi, minyak mentah, ana shell media press, ana shell media, ana shell, ana shell fund, NRGLab, turbin, Eco-SV turbine, NRGLab Pte Ltd, Medco Power Indonesia, MedcoEnergy, pasar energi global, produksi energi, limbah sawit, sekam padi, sumber energi terbarukan, LNG, menarik mata uang asing, limbah pertanian, tumbuhan liar, Bapak Soetrisnanto, Bapak Hernawan, Pemerintah Indonesia, konsumsi minyak, energi geotermal, energi alternatif, Sarana Multi Infrastruktur, SMI, Persero, Ibu Emma Sri Martini, proyek-proyek energi, teknologi Viscoil, nettv, Pusat Investasi Pemerintah, PIP, Pak Siregar, pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur,  Julia Rahmi, Puji Sugia Harjiman, residu berat kilang-kilang minyak Pertamina, strategis jangka panjang

Thursday, January 23, 2014

Fracking our way to disaster

Recent reports from the US have suggested that water contamination from the new energy technique known as ‘fracking’ might be more common than previously thought. There were complaints of contamination in Pennsylvania, West Virginia, Texas, and Ohio. Texas, the state with the most detailed reporting on complaints (which is itself perhaps surprising, considering Pennsylvania’s more liberal image), had over 2,000 complaints about oil and gas wells, although no cases of water contamination have yet been confirmed. In Pennsylvania, however, over 100 confirmed cases of water contamination from the oil and gas industry, including fracking wells, have been recorded.
Of course, one of the very first things that started to bring fracking, or hydraulic fracturing to use its proper name, into mainstream public consciousness was the documentary Gasland, which showed homeowners being able to set their tap water on fire using an ordinary cigarette lighter. Because fracking requires the pumping of hundreds of thousands of gallons of water and chemicals into the earth in an attempt to fracture it and release trapped natural gas, it provides an inherent risk of cross-contamination with local groundwater – and the actual composition of chemicals being used in fracking fluids often remains a closely-guarded industry secret.
So will these findings halt, or at least slow down, the fracking boom which has been spreading across the US over the past few years, and which has recently begun to take hold in other countries like the UK? While there are some cases of homeowners being heavily compensated for undisputed disruptions to their water supply, as fracking increases in scale it seems unlikely that energy companies will cave in. Ultimately, fracking provides the possibility of access to continued cheap, onshore natural gas deposits, allowing our current fossil fuel economy to continue unabated – that kind of opportunity is something that businesses and governments won’t pass up, as switching to a more environmentally friendly energy economy based on renewables will only pose a threat to those that make power and profit from the status quo.
In addition to this, it is likely that the majority of fracking wells will be drilled in rural areas and on the working class outskirts of towns. The majority of the people who will be affected by this infrastructure are those with little land, few connections, and essentially no power to do anything about it. Rich landowners will be able to use their money to defend themselves against fracking wells, while poor people will see their land destroyed, their views spoiled, and their health taken away from them in the name of corporate profits.
This continued drive for fossil fuels is surely the greatest folly of our time. There are so many potential alternatives out there – some of which we are exploring here at NRGLab – which would be much better recipients of the public funds and government support that industries like fracking are now receiving. Through judicious use of technology we could bring down household energy bills, lift people out of energy poverty, and protect our natural environment – rather than contaminating our water and destroying our health in pursuit of a few more years of the easy option of fossil fuels. Hopefully, public awareness of the dangers of fracking will be the first step towards seeing some real change over the next few years.
[ actual composition of chemicals, ana shell media, ana shell media press, corporate profits, cross-contamination with local groundwater, destroying health, documentary Gasland, energy economy, energy technique, environmentally friendly energy economy, fossil fuel economy, fossil fuels, fracking boom, fracking fluids, fracking wells, government support, household energy bills, hydraulic fracturing, industry secret, mainstream public consciousness, natural gas, natural gas deposits, nrglab, oil and gas industry, oil and gas wells, out of energy poverty, potential alternatives, protect natural environment, public funds, rich landowners, rural areas, tap water, water contamination, water supply, working class ]

Wednesday, January 22, 2014

Lembah Kimia atau Lembah Kematian?

Dua bulan terakhir ini, Kanada dan Amerika Serikat merayakan Thanksgiving dan Hari Columbus, kedua perayaan yang telah secara tradisional digunakan untuk mengingat kembali cerita kolonisasi Amerika Utara. Namun beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak orang yang mulai memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berpikir skeptis terhadap, dan mengakui bahwa pendirian negara-negara ini mengharuskan pengambilan tanah penduduk Indian Amerika (penduduk asli Amerika) dan First Nations (penduduk asli Kanada).


Hal yang cenderung kurang diperhatikan adalah pengambilan tersebut berlanjut hingga hari ini dengan berbagai cara, dan telah menyebar ke seluruh dunia menyatu dengan sistem masyarakat global kita. Setiap harinya sistem ekonomi kita mengambil berbagai sumber daya dari orang-orang yang kekurangan, dan membagikannya kembali kepada orang-orang kaya – melalui pajak, penjara, pekerjaan bergaji rendah, subsidi perusahaan, dan lain sebagainya. Sebagian besar penduduk dan berbagai bangsa telah banyak kehilangan, sementara sebagian kecil elite semakin menjadi kaya.


Sekelompok orang menanggung dampak lebih parah dari kejadian tersebut dibandingkan kelompok-kelompok lain, kaum minoritas yang dapat dilihat seperti orang-orang kulit hitam di Amerika, yang sebagian besarnya seperti terpenjara; para wanita di negara-negara berkembang cenderung bekerja di perusahaan dengan gaji rendah dan pabrik-pabrik elektronik dengan upah beberapa sen per jamnya. Namun, mungkin tidak ada yang menanggung dampak seberat korban-korban sebanarnya dari sistem ini, yaitu bangsa Indian Amerika di Amerika Serikat dan First Nations di Kanada.


Kenyataan tersebut baru-baru ini menarik perhatian saya saat membaca tentang apa yang disebut ‘lembah kimia’ di Ontario Selatan, Kanada. Ini adalah daerah permukiman industri yang terpusat di sekitar kota Sarnia, di dekat perbatasan dengan Amerika Serikat di bagian utara Detroit. Sarnia memiliki lebih dari enam puluh pabrik petrokimia dan kilang minyak di sekitarnya, dan lingkungannya, tidak mengherankan, beracun. Dan apa yang berada tepat di tengahnya? Lokasi pemukiman First Nations. Terdapat kuburan First Nations yang yang berada tepat di sebelah sebuah pabrik kimia, sekelompok pepohonan tempat beristirahat bagi orang yang sudah meninggal, dikelilingi oleh bukti nyata yang telah dilakukan di tanah mereka oleh pendatang dari Amerika Utara yang merampasnya.


Tidak hanya tanah mereka yang dirampas, dibangun, dan dicemari. Namun kesehatan mereka juga dirusak, demikian halnya dengan peluang ekonomi yang mereka miliki. Tingkat kelahiran di daerah itu naik secara tidak wajar, dengan 67% bayi lahir berjenis kelamin perempuan dan hanya 33% laki-laki. Perbandingan jenis kelamin yang tinggi dan tidak wajar ini akan berdampak pada hubungan masyarakat di masa yang akan datang. Namun, First Nations di tempat ini tidak berdaya untuk mengubah keadaan dan menyerah pada nasib. Saat ditanya mengenai situasi ini, seorang penduduk di sana mengatakan “melihat berbagai fasilitas tersebut setiap hari bukan masalah besar, karena kami telah terbiasa dilecehkan... sangat sulit memikirkannya setiap hari.”


Sudah jelas, ini adalah kasus ketidakadilan lingkungan, karena tanah penduduk asli Kanada direndahkan, diturunkan nilainya, dan dihancurkan untuk kepentingan masyarakat kapitalis modern. First Nations telah kehilangan tanah, kehidupan, dan kepercayaan diri mereka, bahkan mungkin masa depan mereka. Untuk apakah semua itu? Masyarakat konsumen industri yang memberi manfaat kepada segelintir orang atas pengorbanan banyak orang. Di NRGLabs dan Ana Shell Fund, kami ingin melihat situasi seperti ini terbalik – kami ingin melihat tercapainya keadilan lingkungan, dan hak-hak setiap kelompok dihormati secara sama dan setara. Tujuan kami adalah untuk mencari solusi inovatif untuk masalah ini sehingga situasi seperti ini bisa diatasi – jika Anda memiliki kemampuan dan antusiasme untuk membantu, beritahu kami.

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 8 Januari: http://anashell.blogspot.ru/2014/01/chemical-valley-or-death-valley.html

[ Thanksgiving, Hari Columbus, penduduk asli Amerika, penduduk asli Kanada, sistem ekonomi, melalui pajak, pekerjaan bergaji rendah, subsidi perusahaan ]

Thursday, January 16, 2014

小家伙终于赶上了大恶霸Gazprom(俄罗斯天然气工业股份公司)

俄国天然气发电厂Gazprom(俄罗斯天然气工业股份公司)去年的利润下降了15%,同时,自从弗拉基米尔·普京总统将所有筹码都压在出口上之后,该公司的前景也变得不甚明朗。普京总统承诺将俄国变成“超级能源大国”,但这么一来,也在无意中让该国难以适应全球各地新兴能源市场的涌现。


在过去十年间,欧洲进口天然气的三分之一都来自俄国。保加利亚等国家则完全依赖于Gazprom(俄罗斯天然气工业股份公司)的供给。在20062008以及2009年,为了教训推动克里姆林宫进行立法改革、过于野心勃勃的行政官员们,该公司中断向乌克兰、白俄罗斯、格鲁吉亚、摩尔多瓦地区提供服务,导致数百万人深受严冬的折磨 
更糟的是,Gazprom(俄罗斯天然气工业股份公司)从里海地区采购天然气,之后加价25%出售给欧洲的邻居。为了保持此类利率,该公司CEO Alexey Miller 成功击败了由西方公司负责修建的替代管道计划。
我们可以把Gazprom(俄罗斯天然气工业股份公司)想象成课间休息时,在学校操场上肆意妄为的恶霸,勒索孩子们的牛奶钱,因为他希望孩子们只从“他”的饮水器中取水,而每一口水的价值仅为其收取费用的四分之一。
这一据点削弱了欧盟能源立法的地位。比如说,第三次能源改革方案(Third Energy Package)意欲刺激欧洲内部能源市场。其中一项核心内容就是强制分离公司的供给和分配网络。这意味着控制了饮水器的一方,就不能再控制从中取水的人,或是取水的方式。
不过,在过去几年间,借助于下调的价格和新兴的能源生产商,消费者们也得以挣脱了Gazprom(俄罗斯天然气工业股份公司)的束缚。他们的产品不再是全球消费者唯一的选择。这场比赛的后来者,土库曼斯坦、乌兹别克斯坦和哈萨克斯坦为中亚地区提供了经济实惠的替代选择,进而让欧洲消费者可以和Gazprom(俄罗斯天然气工业股份公司)就价格点进行谈判。去年,该公司即接受了为保加利亚以20%的折扣提供为期10年的服务!
美国预期在来年向欧洲出口不明数量的液压天然气。对大多数北美和欧洲国家来说,天然气已经替代煤成为了他们的首选燃料,同时,页岩作业的数量也在增加,这让Gazprom(俄罗斯天然气工业股份公司)的前景一片黯然。
因为原油和煤都是过去时了。考虑到这些能源对环境的破坏,它们已经无法带领我们走进21世纪。NRGLab开发了一种将天然气转化为燃料的更有效的方式。虽然天然气有其缺陷,但是,却能针对欧洲目前的状况提供更为清洁的解决方案。了解更多关于NRGLab能源战略和即将开展的项目的信息,敬请访问 www.nrglab.asia




俄国天然气发电厂, Gazprom, 俄罗斯天然气工业股份公司, 去年的利润下降了15%,同时,超级能源大国, NRGLab的公司, Ana shell ]

Sunday, January 12, 2014

Belajar dari Pengalaman – Mahasiswa Turun ke Jalan

Masyarakat Inggris baru saja menyaksikan aksi demo mahasiswa, untuk kesekian kalinya sejak pemerintahan koalisi dimulai beberapa tahun silam. Aksi demo yang terakhir adalah untuk memprotes kolusi antara pihak otoritas universitas dan polisi untuk menghalangi demo mahasiswa yang terkadang bahkan menangkap para pemimpin aksi-aksi tersebut. Sejumlah universitas telah mengajukan permohonan, dan telah diberikan surat perintah dari pengadilan untuk menghentikan segala bentuk aksi protes di dalam kampus mereka selama enam bulan ke depan – pengkhianatan yang mengejutkan terhadap prinsip kebebasan berpendapat yang seharusnya justru dipertahankan oleh lembaga perguruan tinggi ini. 

Mahasiswa Inggris bukan satu-satunya yang memprotes kondisi mereka – ada juga pergerakan mahasiswa yang meluas di Propinsi Quebec, Kanada, setahun silam mengenai biaya pendidikan yang meningkat; dan dalam minggu terakhir kita telah melihat ketegangan di antara universitas-universitas di Mesir setelah polisi menembak seorang mahasiswa di Kairo. Semua bentuk protes ini memiliki konteks sendiri-sendiri, karena situasi di London dan Kairo sudah pasti jauh berbeda, namun semua menimbulkan pertanyaan tentang penyebab mahasiswa di seluruh dunia menjadi semakin aktif secara politis.

Salah satu alasan utama adalah mahasiswa, seiring dengan berjalannya waktu mereka harus memikirkan dunia secara mendalam, idealnya ditempatkan untuk menyaksikan kontrol sosial yang sedang terjadi di masyarakat saat ini. Dalam banyak peristiwa, universitas-universitas mereka memberikan contoh terbaik,  jurusan-jurusan yang dianggap kurang ‘berguna secara ekonomi’ ditutup, dan para pegawainya, mulai dari petugas kebersihan hingga dosen diberhentikan atau upah mereka tidak dibayarkan. Jelas terlihat sekarang ada banyak universitas di dunia ini yang hanya mementingkan keuntungan materi dan berkontribusi pada kelanjutan status quo ekonomi daripada keunggulan akademik.

Mungkin alasan yang jauh lebih penting adalah mahasiswa sekarang cukup pintar untuk melihat kecilnya kesempatan yang ditawarkan kepada mereka saat lulus nanti. Mereka diiming-imingi harapan bahwa jika mereka bekerja keras, mereka akan bisa sukses di manapun mereka berada. Namun dengan meningkatnya jarak antara si kaya dan si miskin dalam masyarakat, mereka bisa melihat bahwa sebagian besar dari mereka akan kalah dalam permainan kehidupan, sekeras apapun mereka bekerja. Kesuksesan dan kekayaan adalah “jatah” mahasiswa tertentu yang memiliki orangtua kaya, atau koneksi keluarga yang akan membantu mereka mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi yang hanya tinggal sedikit tersisa. Bagi sebagian besar mahasiswa lainnya, masa depan terlihat suram – pekerjaan dengan upah minimum di Starbucks, dan utang yang menumpuk. Kita sedang menciptakan masyarakat pemenang dan pecundang. 

Mahasiswa, sebagai pengecam yang berani menyuarakan keadaan ini dan juga sebagai kalangan yang paling mungkin merugi, sekarang menghadapi tekanan untuk menghentikan penyebaran pesan mereka. Penembakan di Kairo, ‘penahanan’ dan penangkapan di London – apa saja untuk menghentikan mereka menyampaikan pesan kepada orang-orang yang kehilangan mata pencaharian dan peluang di dalam masa sulit ini. Seharusnya kita melakukan yang terbaik untuk membantu menyebarkan semangat dan filosofi mahasiswa kepada lebih banyak orang lagi – kita membutuhkan masyarakat yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebutuhan akan pengetahuan, kreativitas dan keadilan sebagai prioritas utama; bukan masyarakat yang menempatkan keuntungan materi di atas segalanya, dan memperburuk jurang pemisah antara pemenang dan pecundang. 


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 30 Desember: http://anashell.com/anashell/2013/12/30/learning-hard-way-students-take-streets/
[Mahasiswa Turun ke Jalan, Masyarakat Inggris, aksi demo mahasiswa, Propinsi Quebec, penembakan di Kairo, penangkapan di London, student protest, nrglab, Ana shell]

Wednesday, January 8, 2014

Chemical Valley or Death Valley?

Over the last two months, Canada and the US have celebrated Thanksgiving and Columbus Day, both festivals that have traditionally been used to push an uncritical narrative on the colonization of North America. In recent years, however, people have started to use these occasions to think a bit more skeptically about the situation, and acknowledge that the founding of these countries necessitated the taking of Native American and First Nations (Native Canadian) land.
What tends to be less examined is that this taking continues today in a host of ways, and has spread around the world to incorporate our entire globalized societal system. Every day our economic system takes resources away from people who have little, and redistributes them to people who already have a lot – through taxes, prisons, badly-paid jobs, corporate subsidies, and so on. The vast majority of people and nations are losing, while a small elite is cashing in.
Certain groups suffer the effects of this even more than the rest of us – visible minorities, such as black people in America, are much more likely to be imprisoned; women in developing countries are more likely to be working in sweatshops and electronics factories for a few cents an hour. But perhaps no-one continues to suffer quite as badly as the original victims of this system, the Native Americans of the US and the First Nations of Canada.
This fact recently came to the front of my attention when reading about the so-called ‘chemical valley’ in Southern Ontario, Canada. This is a strip of industrial settlements centred around the town of Sarnia, just over the US border to the north of Detroit. Sarnia has over sixty petro-chemical plants and oil refineries based around it, and the environment is, unsurprisingly, toxic. And right in the middle of it? A First Nations reserve. There is a First Nations cemetery lodged up right next to a chemical plant, a small group of trees among which the dead can rest, surrounded by examples of what was done to the land taken from them by the settlers of North America.
It’s not just that their land has been taken from them, built on, and polluted. Their health has also been damaged, and with it, their economic chances. Birth rates in the area are increasingly strange, with 67% of new born babies being girls and only 33% being boys. This abnormally high gender ratio will obviously have an impact on community relations in the years to come. However, the First Nations in the area are powerless to change things and resigned to their fate. When asked about the situation, one resident stated “seeing those facilities every day, it’s not a big deal and we’re so used to being abused . . . it’s too hard to think about it every day”.
Clearly, this is a case of environmental injustice, with the land of Native Canadians devalued, degraded, and destroyed for the benefit of a modern capitalist society. The First Nations have lost their land, their livelihoods, their self-reliance, and perhaps even their future. And all for what? An industrial consumer society that really only benefits the few at the expense of the many. At NRGLab and the Ana Shell Fund, we want to see situations like this reversed – we want to see environmental justice achieved, and the rights of all groups respected equally. Our aim is to find innovative solutions to the problems that situations like these throw up – if you have the skills and enthusiasm to help, let us know.
[ chemical plant, Chemical Valley, chemical valley Southern Ontario, colonization of North America, Columbus Day,  Death Valley, electronics factories, environmental injustice,  First Nations land, incorporate system, nrglab ]

Sunday, January 5, 2014

盈利性监狱——最新企业计划

过去几周,新闻报导了大量事例,这让人们很难完整浏览在全球各地不断增长的剥削和压迫。但是,几个月前的一则故事却在最近引起了我的注意——当时几乎所有的主要新闻机构都对此进行了报导,虽然我们每个人都应该比较厌烦这种事儿。

这则故事涉及到了美国宾夕法尼亚州的一名法官Mark Ciavarella。今年早些时候,法院令其向受害者支付120万美元的赔偿金。他的罪行是什么呢?向监狱工业园区售卖儿童。Ciavarella和另一名法官Michael Conahan接受了宾夕法尼亚州一座私人青少年监狱创建者数百万美元的现金,作为交换,他们需要判定青少年被指控罪行成立,因此这两名法官被认定有罪。Ciavarella扭曲了司法程序,让这些孩子更难为自己辩护,剥夺了他们的合法权益,将这些往往只犯了轻罪、年仅10岁的孩子送进私人监狱。



显然,这让人觉得恶心。但是,现有刑罚系统的支持者们将说,这不过是少数害群之马,而不是什么系统方面的问题。而实际情况比这儿可严重多了。私人所有的监狱正在全球变得越来越普遍——这些监狱由开发商和保安公司修建,旨在为运营监狱的公司创造利润。政府为他们关押的每一个犯人支付的一笔费用就是其利润来源。这意味着私人监狱的主要兴趣点有两个——监禁尽量多的人,以及在照料囚犯方面花尽量少的钱(通过降低食物质量,减少警卫数量,减少囚犯活动等方式)。越是能更成功地执行这两项任务,他们就越是能获取更多的利润。

而这是存在问题的,因为监狱系统通常是确保有权势的人保有权势,一无所有的人留在底层的方式。目前,与富人相比,穷人被送进监狱的几率要高很多,甚至在某些情况下,贫穷就是将某人送进监狱的理由——想想那些流浪汉吧,他们可能会被告知非法入侵或是非法向路人讨钱。对许多人来说,政治和经济体制几乎夺走了他们的一切——他们失去了自己的房子、工作、钱,而现在,他们就要失去自由。为什么呢?因为这样一来,私人开发商——位于经济金字塔顶端的人——就能赚更多的钱了。

Ciavarella及其同事的事例是这类剥削最严重的代表——因利益而剥夺他人的生活。但是,这仅是冰山一角。许多私人监狱都与当地政府订有协议,以便保证监狱拥有较高的收容率——这意味着政府同意将一定数量的人送进监狱,而无视其所犯罪行的多寡。这也意味着需要编订更多的法律,进而创造更多的非法事件,让更多人的生活毁于一旦。

现在,这变成了运转经济、赚取利润、赖以为生的手段。生而为人的我们如此心灵手巧,有足够的能力把事情做好——但是,我们却没有通力合作做好事儿,而是相互敌对,将社会分成了失去一切的人和赢得所有的人。Ana Shell Fund希望改变这种情况,即使这需要漫长的时间和大量的精力——我们希望引领一个具有合作精神的公平社会,让每个人都成为赢家。




[ Mark Ciavarella, Michael Conahan, Ana Shell Fund, Ana Shell, 盈利性监狱, 监狱系统, 私人监狱, NRGLab 新技术 ]

Wednesday, January 1, 2014

Ketimpangan Energi yang Membatasi Demokrasi

NRGLab (ww.nrglab.asia) didedikasikan untuk mengembangkan energi alternatif terbarukan untuk masa depan. Dengan mengenalkan listrik ke dunia ketiga dengan harga lebih terjangkau bagi semua orang, kita dapat mendemokrasikan energi dan informasi dengan cara yang tidak mungkin terpikirkan sebelumnya.  Tetapi untuk memahami hubungan antara energi, informasi, dan demokrasi yang kuno, terlebih dahulu kita perlu menelaah apa artinya menjadi 'demokratis'.



Biasanya, orang memikirkan demokrasi dalam pengertian sempit - semua orang mendapatkan hak suara yang sama untuk memilih pemimpin mereka berikutnya. Kalau begitu, ini sama saja dengan mundur ribuan tahun lalu ke zaman Yunani kuno. Seperti yang pernah dikatakan Winston Churchill, "Demokrasi memang mempunyai banyak kekurangan, tapi inilah yang terbaik dari bentuk pemerintahan yang buruk lainnya."

Aspek yang paling penting untuk mempertahankan demokrasi adalah para pemilih yang cerdas. Ketika memercayakan kebebasan memilih bagi rakyat, kita juga harus memercayakan mereka dengan kebenaran. Siapa yang membela persoalan apa? Masalah apa yang paling mendesak dan penting? Ke manakah arah dunia kita?

Pertanyaan-pertanyaan ini memengaruhi para pemilih, para pemilih memengaruhi kebijakan, dan karena sifat politik global, tentu saja akan turut memengaruhi seluruh dunia. Dan ketika menyangkut kebijakan energi, pencairan gletser membuktikan bahwa tidak ada masalah yang lebih mendesak dari hal ini.
Kita semua bergantung pada energi untuk melakukan perjalanan pulang pergi bekerja setiap hari. Untuk memasak makanan kita.  Untuk memanaskan air mandiri di malam hari. Kestabilan ekonomi bergantung pada akses energi yang dapat diandalkan bagi bangsa tersebut.  Namun mayoritas sumber energi seperti batu bara, minyak, gas, dan uranium, yang jumlahnya terbatas dan hanya ditemukan di tempat tertentu, dikendalikan oleh segelintir konglomerat energi.

Lalu, di manakah letak nilai demokrasi di sini?
Bila kekuasaan dikonsolidasikan ke tangan beberapa gelintir orang saja, maka mayoritas menjadi budak kelompok minoritas ini. Telah lama kita dikondisikan untuk menginginkan bahan bakar fosil sehingga keinginan kita saat ini jauh melampaui kebutuhan kita. Dilema moral antara mengonsumsi ini versus tanggung jawab sosial membatasi demokrasi. Agar warga negara, CEO, dan politisi bebas untuk memilih arah yang terbaik bagi planet bumi, pertama-tama kita harus membebaskan diri dari konglomerasi penguasa energi.

Kita memiliki kemampuan untuk melewati puncak industri dari abad sebelumnya. Kita bisa beradaptasi dengan perubahan iklim melalui investasi pada energi bersih. Kita bisa menghancurkan pemikiran ekonomi kuno yang mengancam demokrasi bagi anak cucu kita dengan mematuhi ambang batas karbon.

Itu sebabnya NRGLab selalu memberitahukan perkembangan terbaru dalam bidang energi, bisnis, dan teknologi baru setiap hari dari seluruh dunia.  Kami ingin Anda tetap mendapatkan informasi terbaru.  Tetap mempunyai rasa ingin tahu. Tanpa membedakan tempat tinnggal dan latar belakangan Anda.  New York. Papua Nugini. Selandia Baru. NRGLab ingini memberikan Anda kebebasan memilih karena kita bekerja sama untuk menuju masa depan baru dan lebih baik.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 27.11: http://anashell.blogspot.com/2013/06/energy-imbalance-strangles-democracy.html 

Ketimpangan Energi, Membatasi Demokrasi, energi biomassa, energi NRGLab, Ana Shell NRGLab, Ana shell, NRGlab, Winston Churchill ]